Dientry oleh lusi - 27 January, 2016 - 2395 klik
Hutan Harapan dan Masyarakat Kunangan Jaya Akhiri Konflik

Biro Humas KemenLHK, Jambi : Setelah melalui proses mediasi oleh berbagai pihak, sebanyak 171 KK masyarakat Dusun Kunangan Jaya 1, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari dan manajemen Hutan Harapan menandatangani kesepakatan pengelolaan kawasan hutan. Kesepakatan ini penting untuk mempertahankan Hutan Harapan dan menunjukkan bahwa hutan memberi manfaat bagi masyarakat. 

 
Kesepakatan ditandatangani di Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Selasa (26/1), oleh Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia Effendy A Sumardja, sebagai pengelola Hutan Harapan, dan perwakilan 171 warga yang tergabung ke dalam kelompok Trimakno (Kelompok Trimakno merupakan salah satu bagian dari kelompok masyarakat pendatang yang telah melakukan aktivitas sosial dan ekonomi di dalam kawasan Hutan Harapan sejak 2005. Manajemen Hutan Harapan menyadari bahwa mengelola kawasan seluas 98.555 hektare kawasan restorasi ekosistem di Provinsi Jambi dan Sumsel tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan masyarakat). 
 
Naskah kesepakatan diketahui oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hadi Daryanto, Direktur Usaha Jasa Lingkungan Hutan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu KLHK, Gatot Soebiantoro, dan Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat KLHK, Eka Widodo Soegiri, pemerintah provinsi Jambi dan pihak-pihak terkait. Melalui kesepakatan ini diharapkan masyarakat akan sejahtera dan Hutan Harapan tetap terjaga sebagai kawasan restorasi ekosistem.
 
Dalam kesepakatan tercantum perjanjian menjaga Hutan Harapan dari aktivitas ilegal, seperti pembakaran lahan, penebangan kayu (illegal logging) dan perburuan binatang liar. Masyarakat dan manajemen Hutan Harapan berkewajiban yang sama dalam menjaga hutan terisa secara berkelanjutan dan melakukan kemitraan usaha berbasis agroforestry yang diikuti komitmen tidak melakukan perluasan lagi. 
Ada pula komitmen menjaga hutan di sepanjang sempadan sungai dan areal konservasi sebagai wujud nyata kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan alam bagi generasi penerus mereka. Mengimplementasikan kesepakatan ini, manajemen Hutan Harapan mengizinkan 1.219 hektare areal konsesinya dikelola langsung bersama masyarakat. 
 
Selama ini lahan tersebut sudah ditanami kelapa sawit, karet, buah-buahan, pertanian, dan dimanfaatkan untuk permukiman dan sarana sosial lainnya. Namun, masyarakat mengakui bahwa lahan garapan dan pemukiman mereka merupakan kawasan hutan negara bernama Hutan Harapan, yang izin pengelolaannya dipegang PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Dengan kesepakatan ini kedua pihak menyatakan mengakhiri konflik/sengketa menuju usaha kemitraan.
 
Penandatanganan dan model kerja sama ini menjadi bukti nyata untuk mendukung program Nawacita Presiden Jokowi, yakni memberikan akses hutan bagi masyarakat atau membangun masyarakat dari pinggiran hutan, mempertahankan kekayaan biodiverisitas dan energi serta ketahanan pangan.
 
Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Eka Widodo Soegiri, mengatakan kesepakantan ini bertujuan menciptakan keamanan berusaha, keamanan bekerja selain mencipatkan keadaan yang baik bagi masyarakat. “Tidak ada agenda lain dari kesepakatan tersebut, kecuali masyarakat sejahtera, hutan lestari dan dunia usaha berjalan,” katanya. 
Selanjutnya, Eka meminta agar diatur action plan sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari dokumen kesepakatan yang ditandatangani. “Saya berharap segera ditindaklanjuti, masa depan masyarakat dan masa depan PT Reki adalah tanggung jawab bersama,” katanya.
 
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah Rahman mengatakan, kesepakatan yang ditanda tangani ini bertujuan melindungi masyarakat agar tidak melanggar aturan atau terkena pidana kehutanan. Dia menyebutkan, kerja sama ini memiliki dasar yang kuat, yakni Pemenhut No. P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat melalui Kemitraan Kehutanan.
 
Menurutnya, tekanan terhadap hutan di Provinsi Jambi semakin meningkat, hampir terjadi di setiap kabupaten. Eksodus ke dalam kawasan hutan dan konversi lahan menjadi areal perkebunan tidak terbendung lagi. Konflik sebagian besar disebabkan oleh tumpang tindih izin dan perambahan oleh masyarakat yang secara ilegal mengalihfungsikan kawasan hutan.
 
Direktur Impartial Mediator Network (IMN) Ahmad Zazali sebagai mediator antara masyarakat dan manajemen Hutan Harapan, mengatakan pencapaian kesepakatan ini dimulai pada September 2014. Tetapi sebelumnya ada verifiksi dan identifikasi subjek dan objek oleh Dinas Kehutanan Batanghari pada 2012. 
 
“Hari ini adalah deklarasi untuk mengakhiri perselisihan para pihak. Harapan kita, terjadi hubungan yang lebih harmonis,” katanya. Di dalam masyarakat yang mengikuti kesepakatan ini terdapat 15 KK warga SAD. 
“Melalui kesepakatan ini kita harapkan masyarakat akan sejahtera dan Hutan Harapan tetap terjaga sebagai kawasan restorasi ekosistem,” kata Effendi pada acara penandatanganan. “Tanpa dukungan masyarakat, Hutan Harapan sebagai hutan dataran rendah tersisa di Sumatera ini tidak akan terjaga sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di kawasan ini,” tegas Effendy. Dia mengatakan, upaya merestorasi ekosistem dan kegiatannya di Hutan Harapan, termasuk pencapaian kesepakatan ini, didukung oleh pemerintah Denmark melalui Danida-Danish Embassy. 
 
TENTANG RESTORASI EKOSISTEM
 
Pemerintah RI mengelurakan kebijakan restorasi ekosistem (RE) di hutan produksi secara resmi melalui SK Menteri Kehutanan No 159/Menhut-II/2004. Pada 2005, untuk pertama kalinya di Indonesia ditetapkan areal sekitar 100.000 hektare di Sumsel dan Jambi sebagai kawasan Restorasi Ekosistem (RE) yang selanjutnya diberi nama Hutan Harapan. 
 
Kebijakan RE ini terlahir dari kekhawatiran akan hilangnya hutan alam di kawasan hutan produksi, rentannya pengelolaan kawasan hak pengusahaan hutan (HPH), dan perubahan hutan alam menjadi peruntukan lainnya. Dari 16 juta hektare hutan dataran rendah Sumatera pada 1900, kini hanya tersisa sekitar 500 ribu hektare saja. Sebanyak 20 persennya adalah Hutan Harapan.
 
Hutan Harapan membentang di dua kabupaten dalam Provinsi Jambi, yakni Sarolangun dan Batanghari, dan di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumsel. Dulunya, kawasan ini adalah Hutan Produksi PT Asialog dan Inhutani. Izin pengelolaannya diberikan kepada Unit Manajemen Hutan Harapan bentukan Burung Indonesia, Birdlife International dan Royal Society for the Protection of Birds.
 
Karena pemerintah mensyaratkan badan hukum perseroan terbatas (PT), maka ketiga LSM di atas mendirikan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Izin RE pertama didapat pada 2007, yakni untuk kawasan seluas 52.170 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin (SK Menhut No 293/Menhut-II/2007). Izin kedua keluar pada 2010 untuk areal seluas 46.385 hektare di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun (SK Menhut No 327/Menhut-II/2010). Total luas izin konsesi 98.555 hektare.
 
Hutan Harapan merupakan sumber serta areal resapan air (water catchment area) penting bagi masyarakat Jambi dan Sumsel. Sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti adalah hulu Sungai Musi yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko. Sungai ini adalah sumber kehidupan utama masyarakat Sumsel, baik untuk air bersih, perikanan, pertanian, perkebunan maupun sarana transportasi. 
Sungai lainnya adalah Sungai Lalan, yang merupakan sumber kehidupan masyarakat Bayunglincir dan sekitarnya. Sungai Kandang yang juga berhulu di Hutan Harapan merupakan sumber air penting bagi masyarakat di sekitar Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Pada musim kemarau 2015 lalu, sungai-sungai yang berhulu di Hutan Harapan tetap mampu menangkap dan menyuplai air bagi masyarakat Sumsel dan Jambi.
 
Hutan Harapan dihuni oleh lebih dari 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 65 jenis ikan, 52 jenis amfibi, 71 jenis reptil, 728 jenis pohon. Sebagian flora dan fauna tersebut tidak ditemukan di hutan lainnya di Indonesia bahkan di dunia. Sebagian lagi sudah sangat langka dan terancam punah, seperti harimau sumatera, gajah asia, beruang madu, ungko, bangau storm, rangkong, jelutung, bulian, tembesu dan keruing.
 
Masyarakat Batin Sembilan adalah kelompok masyarakat yang hidup di alam bebas yang memiliki kearifan sendiri dalam mengelola hutan. Mereka memanfaatkan Hutan Harapan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jerenang, madu sialang, getah jelutung, damar, serta tanaman obat-obatan. Hutan Harapan menjadi kawasan hidup dan jelajah sekitar 300 kepala keluarga Batin Sembilan.***