Dientry oleh Rizda - 22 February, 2016 - 11247 klik
Fitoremediasi, Solusi Pengelolaan Lahan Pasca Tambang Batubara

FORDA (Bogor, 19/02/2016)_Antun Puspanti, peneliti Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya alam Samboja, dalam kajiannya Fitoremediasi sebagai Salah Satu Pendukung Kegiatan Pengelolaan Lahan Paska Penambangan Batubara yang dimuat pada Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian “Reklamasi Lahan Pasca Tambang: Aspek Kebijakan, Konservasi dan Teknologi, menyebutkan bahwa fitoremediasi mampu mendukung kegiatan reklamasi sebagai pengelolaan lahan pasca penambangan batubara akibat sistem pertambangan terbuka (open pit mining) yang banyak diterapkan pelaku pertambangan di Indonesia.

Fitoremediasi, teknik yang melibatkan tumbuhan berklorofil untuk mengurangi kandungan polutan pada tanah dan air, cukup menjanjikan sebagai alternatif teknologi untuk membersihkan lingkungan dari polutan karena dinilai efektif, efisien, lebih ekonomis dan bersifat berkelanjutan.

Dari kajian yang dilakukan Antun terhadap hasil penelitian yang telah ada, diketahui bahwa dengan fitoremediasi yang mampu memperbaiki kualitas tanah dan air, tidak hanya mampu mengembalikan rona awal kawasan seperti sebelum penambangan, tetapi juga mampu mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan.

Hal ini karena fitoremediasi mampu mengurangi kandungan air asam tambang (AAT), penyebab tingginya kandungan logam dalam air dan tanah dengan cara menyerap logam tersebut melalui akar tumbuhan.

Para ahli menyebutkan, melalui sistem rawa buatan, salah satu sistem pengelolaan AAT dengan tumbuhan sebagai pengakumulasi logam dalam air maupun tanah dengan tanaman air kelompok enceng gondok dan Lepironia sp. secara aerobik dan anaerobik yang dikombinasikan dengan sistem kapur anoksik mampu menaikkan pH AAT yang tadinya rendah yaitu 2,8 menjadi 7. Selain itu juga mampu menurunkan turbiditas dan konduktivitas, menyisihkan sulfat sekitar 67-90%, logam Fe mencapai 100% dan Al 93-97%.

Penelitian lainnya juga membuktikan, enceng gondok mampu mengurangi konsentrasi logam berat pada AAT tanpa banyak menunjukkan gejala keracunan. Hal ini karena enceng gondok mempunyai sistem perakaran serabut dan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga akumulasi biomassanya juga besar.

“Meskipun sering dianggap sebagai gulma, enceng gondok dinilai berhasil untuk pengelolaan limbah air dengan menurunkan kandungan bahan organik dan anorganik. Selain itu, enceng gondok ini juga mampu mengakumulasi unsur-unsur seperti Ag, Pb, Cd serta efisien untuk fitoremediasi air yang terkontaminasi oleh Cd, Cr, Cu dan Se,” kata Antun.

Selain mampu mengurangi kandungan AAT, hasil penelitian lainnya menunjukkan fitoremediasi juga mampu memperbaiki kesuburan tanah pada lahan bekas tambang batubara. Penggunaan tumbuhan yang mampu berasosiasi dengan bakteri atau mikoriza akan sangat membantu dalam proses pemulihan kesuburan tanah.

Menurut para ahli, berbagai jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu bersimbiosis dan berperan dalam stabilisasi serta penyerapan logam berat pada lahan kritis. Tumbuhan Brassicaceae dan Carryophylaceae yang dikenal sebagai tumbuhan hiperakumulator logam berat serta kelompok Leguminosae yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen banyak dimanfaatkan sebagai jenis tanaman dalam revegetasi dan reklamasi lahan bekas tambang.

Oleh karena itu, penggunaan potensi tanaman lokal yang dikombinasikan dengan mikoriza arbuskula dalam proses restorasi ekologi pada lahan bekas tambang dinilai lebih baik. Isolasi fungi dari lahan bekas tambang dapat dijadikan sumber inokulum untuk kegiatan revegetasi lahan.

“Melihat potensinya, mikoriza arbuskula yang berasosiasi dengan tanaman merupakan salah satu alternatif teknologi fitoremediasi terhadap tanah yang mengandung logam berat pada lahan bekas tambang,” tambah Antun.

Dalam prosiding tersebut, Antun menjelaskan kegiatan reklamasi diawali dengan penataan lahan dengan menutup kembali lubang-lubang galian tambang. Pengendalian erosi dan sedimentasi merupakan langkah lanjutan dengan menutup tanah terbuka dengan cover crop untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mencegah erosi. Kemudian, kegiatan revegetasi dilakukan dengan penanaman di areal bekas tambang dengan tumbuhan pionir, tumbuhan lokal di daerah tersebut ataupun tumbuhan buah.

Mengingat sejauh ini kegiatan reklamasi lahan bekas tambang batubara masih terfokus pada kegiatan revegetasi untuk mempercepat penutupan lahan kritis akibat pembukaan kawasan hutan untuk tambang, fitoremediasi menjadi salah satu solusi karena mampu mengurangi air asam tambang yang menimbulkan banyak kendala dalam revegetasi.

“Dampak lingkungan ini bisa dirasakan di lokasi pertambangan dan juga di lokasi yang jauh dari pertambangan. Contohnya adalah dari terbentuknya AAT yang bisa mencemari sungai dan perairan. Air asam tambang mengakibatkan air di sekitar lokasi pertambangan tidak bisa dikonsumsi dan mendukung kehidupan masyarakat sekitar. Bahkan AAT bisa menimbulkan dampak serius bagi ekosistem sungai dan perairan apabila tidak ditangani secara serius," kata Antun.***RH

Penulis : Risda Hutagalung