Dientry oleh Rizda - 04 January, 2013 - 4352 klik
Meninjau Aspek Silvikultur, Sosial-Ekonomi, Kebijakan dan Ekologi dalam Rangka Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Produksi

B2PD (Samarinda, 04/01/2013)_Semangat rekonstruksi dalam tema Ekspose Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda yang dilaksanakan pada 13/11 lalu bertujuan untuk memetakan permasalahan dan merumuskan solusi bagi upaya perbaikan pengelolaan hutan alam produksi, melalui integrasi aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan.

Hasil pemetaan masalah pada ekspose tersebut, pengelolaan hutan yang sudah lama dipraktekkan ternyata tidak memberikan hasil yang optimal, sehingga diperlukan pemikiran ulang tentang konsep praktek pengelolaan, kebijakan dan operasional penerapannya.

Sistem silvikultur yang dicreate selama ini dan kemudian diberikan baju hukumnya dalam bentuk SK Menhut, tidak selalu mendasarkan pada kondisi alam, tetapi lebih pada pendekatan teoritis yang tidak selalu bisa diterapkan di lapangan.

Dari sudut pandang pelaku usaha pengelolaan hutan alam produksi, problematika tidak terletak pada regulasi yang ada tetapi lebih pada kesulitan yang terjadi karena beberapa hal, antara lain kewajiban yang terlalu berat, kompetisi sangat ketat dan ekonomi biaya tinggi. Hal-hal tersebut membuat pengusaha tidak bisa berbuat banyak.

Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut, Prof. Hariadi Kartodihardjo (Direktur Bina Usaha Hutan Alam Dirjen BUK), Prof. Andry Indrawan (IPB), Dr. Titiek Setyawati (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi) dan  Dr. Irsyal Yasman (APHI Jakarta) serta Peneliti B2PD.

Hasil diskusi dari aspek teknis/sistem silvikultur yang dirumuskan disebutkan bahwa upaya rekonstruksi harus dimulai dari rekonstruksi pemikiran. Pengelolaan hutan alam sekarang sudah harus bergeser dari orientasi eksploitasi menjadi berorientasi pada peningkatan produktivitas.

Tindakan intervensi manusia dalam penggunaan teknik/sistem silvikultur secara lebih intensif dan optimal diperlukan. Secara konsekuen, penggunaan empat sistem silvikultur yang tersedia, meliputi TPTI, TPTJ, TR dan THPB mesti disesuaikan dengan kondisi tapak dan tipologi masing-masing bagian kawasannya.

Konsep multisistem Silvikultur akan cukup mampu mengakomodir kepentingan ini, baik dari aspek teknis untuk peningkatan produksi, ekonomi dalam hal investasi dan keuntungan, sosial dalam penyerapan tenaga kerja dan ekologi dalam upaya mengurangi fragmentasi kawasan. KPHP dipertimbangkan akan memiliki peran penting dalam manajemen pengelolaan kawasannya.

Sedangkan dari aspek ekologi, pemenuhan indikator ekologi secara maksimal dapat mengindikasikan upaya pengelolaan hutan alam lestari. Dalam upaya rekonstruksi perlu memperhatikan karakter asli ekosistem hutan produksi yang diusahakan.

Dari aspek kebijakan. Perlu dilakukan deregulasi secara selektif, terutama peraturan/kebijakan yang justru menjadi kontra produktif terhadap kinerja pengusahaan alam. Pemegang izin pemanfaatan hasil hutan perlu diberi ruang yang lebih luas untuk memiliki teknologi dan pendekatan pengelolaan, sementara pemerintah cukup memberi rambu dan menilai kinerja. Jaringan kerja menjadi sangat diperlukan untuk dibangun.

Di akhir acara, disampaikan saran, berupa tindakan yang memungkinkan untuk dilakukan, yaitu memberikan otorisasi yang lebih luas bagi pengelola hutan (IUPHHK-HA). Sebagai regulator, pemerintah sebaiknya tidak mengandalkan kontrol secara eksternal tapi mendorong adanya kontrol internal dari pelaku usahanya sendiri terutama dalam hal-hal yang bersifat teknis. Pemerintah perlu concern dalam hal penyelesaian masalah tenurial. Konflik kepentingan dengan sektor-sektor lainnya perlu dikelola dengan baik dan perlu mereview regulasi dalam upaya meminimasi biaya transaksi.

Jumlah peserta yang hadir 145 orang berasal dari Dinas Kehutanan Provinsi/Kota/Kabupaten se-Kaltim, instansi vertikal Kemenhut di Kaltim, instansi terkait, akademisi, APHI Kaltim, LSM dan para peneliti B2PD dan Balitek KSDA Samboja.

Sumber: B2PD Samarinda