Dientry oleh priyo - 03 December, 2014 - 2846 klik
Menekan Deforestrasi dan Degradasi Hutan dengan KPH

FORDA (Bogor, 04/12/2014)_Untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia haruslah diketahui penyebabnya. Salah satunya adalah belum terbentuknya institusi yang mengelola wilayah hutan yang ada secara menyeluruh, sehingga diperlukan unit-unit manajemen pengelolaan hutan atau yang disebut dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Hal ini disampaikan oleh Sylviani, Peneliti Pusat Litbang Perubahan iklim dan Kebijakan, Badan Litbang Kehutanan dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 10 No 3 tahun 2013.

“Pembentukan KPH merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dipandang dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya, “ kata Sylviani.

Lebih lanjut, Sylviana menyebutkan bahwa permasalahan yang paling penting dalam operasional KPH adalah kelembagaaan atau bentuk dan struktur organisasi KPH serta peraturan pendukung dan implementasinya.

Salah satu peraturan pendukung KPH tersebut tertuang dalam pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan No. 6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). NSPK adalah semua ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang dapat dijadikan pegangan oleh pemerintah daerah untuk menjalankan desentralisasi kewenanganya terutama dalam pengelolaan kawasan hutan.

“Implementasi NSPK pengelolaan KPH dapat diketahui dari rencana maupun realisasi kegiatan pengelolaan KPH model yang dipilih, “ kata Sylviani

Untuk melihat sejauh mana implementasi NSPK pengelolaan KPH, Sylviani memilih tiga (3) KPH model berdasarkan pada perkembangan organisasi KPH tersebut. Ketiga model tersebut adalah KPH Dampelas Tinombo di Sulawesi Tengah serta KPHP Reg 47 Way Terusan dan KPHL Batu Tegi di Provinsi Lampung.

KPH Dampelas Tinombo mempunyai bentuk organisasi Unit pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi hingga saat ini sudah operasional. KPHP Reg 47 Way Terusan mempunyai bentuk organisasi UPTD Dishut Kabupaten dan hingga saat ini belum operasional. Sedangkan KPHL Batu tegi merupakan tanggung jawab Dishut Provinsi dan statusnya baru penunjukan belum ditetapkan.

Hasil penelitian menunjukkan struktur organisasi KPH mempunyai kesamaan dalam hal pembagian kerja, wewenang, rentang kendali dan departemenisasi. Perbedaan pengelompokan jenis/nama departemenisasi yang disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, potensi kawasan serta kebijakan setiap daerah.  

“Bentuk organisasi KPH pada lokasi penelitian memiliki karakteristik ”struktur organisasi fungsional” yang senantiasa beradaptasi dengan lingkungannya agar tetap berkembang menuju visi dan misi yang telah dibuat. Apabila kebijakan berubah, organisasi akan berubah dan menyesuaikan struktur organisasi internalnya, ”kata Sylviani.

Dari segi implementasi NSPK pengelolaan KPH, KPHP Reg 47 Way Terusan dan KPH Dampelas Tinombo telah memenuhi kriteria, sedangkan KPHL Batu Tegi masih perlu penyempurnaan dan penyesuaian struktur organisasi.

“Struktur organisasi KPH tidak perlu diseragamkan untuk semua daerah tapi dibentuk sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah, “ kata Sylviani

Dengan dukungan struktur organisasi yang disesuaikan dengan kondisi kawasan masing-masing dan penerapan kebijakan NSPK maka pengelolaan KPH akan lebih terkendali. Selain itu solusi permasalahan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masing-masing KPH akan lebih tepat sasaran. Dengan demikian permasalahan kritis seperti deforestrasi dan degradasi hutan akan teratasi dengan lebih optimal.**RMD

 

Editor : Sub Bagian Data dan Informasi

 

http://www.forda-mof.org atau www.litbang.dephut.go.id

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Forestry Research and Development Agency (FORDA)

Penulis : Retisa Mutiara Devi