Dientry oleh priyo - 05 February, 2015 - 7425 klik
Peluang Pengembangan Jenis-jenis Alternatif Tanaman HTI

BBPBPTH (Yogyakarta, 02/02/2015)_Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), pada hari Senin (02/02) melaksanakan pembahasan peluang pengembangan jenis-jenis alternatif tanaman HTI. Perlu diketahui bahwa selama ini HTI mengandalkan jenis akasia (Acacia mangium) dan ekaliptus (Eucalyptus pellita). Acara tersebut dihadiri oleh Kepala BBPBPTH (Dr. Ir. Mahfudz, MP), Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (Ir. R. Gunawan Hadi Rahmanto, M.Si), Direktur Litbang PT. Arara Abadi (Bambang Herdyantara) dan beberapa peneliti terkait.

Menurut Mahfudz dalam sambutannya mengatakan bahwa pertemuan ini dilaksanakan untuk   menindaklanjuti pesan Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menangani atau mencari solusi kebakaran hutan khususnya di hutan rawa gambut. Sekarang ini banyak praktek-praktek silvikultur yang berpotensi menyebabkan terhadinya kebakaran hutan.

Hasil dari pertemuan ini diharapkan untuk menjadi bahan pertimbangan pengambilan kebijakan dalam penanganan rawa gambut. Selain itu juga untuk mempererat hubungan BBPBPTH dengan kawan-kawan dari perusahaan serta pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan ini, sehingga kita dapat bekerja dengan lebih baik dan dengan program yang lebih baik pula.

Beberapa jenis alternatif yang dapat dikembangkan pada lahan kering/dry land antara lain jabon (Athocephalus sp), waru (Hibiscus tiliaceus) dan bambu.

Jabon

Penilitian jabon yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) menunjukkan bahwa pada umur 4 tahun mempunyai tinggi dan diameter rata rata adalah 7,01 m dan 9,64 cm. Mempunyai produksi serasah jabon sebesar 0,27 – 5,11 ton/ha/th. Lama waktu dekomposisi berkisar antara 1,8 tahun hingga 5,6 tahun.

Tanaman jabon tersebut pada pola agroforestri menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik dibanding monokultur. Potensi yang dimiliki jabon yaitu BJ 0,38; lignin 31,49 %; selulosa 50,03 %; panjang serat 1.856,25 µm; rendemen pulp 49,06 %; wood consumption 5,36 m3 kayu/ton pulp.

Waru

Kedua, adalah pohon waru (H.tiliaceus). Waru mempunyai kemampuan bertahan terhadap kondisi lingkungan cukup tinggi. Tumbuhan ini sanggup bertahan pada kondisi masin, kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm.

Waru biasa dijumpai di pesisir pantai yang berpasir, hutan bakau, dan juga di wilayah riparian. Pada tanah yang subur, batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur batangnya tumbuh membengkok, percabangan dan daun-daunnya lebih lebar. H. tiliaceus tumbuh alami di pantai-pantai Asia Tenggara, Oceania dan Australia utara dan timur.

Bambu

Kemudian bambu, di Indonesia terdapat lebih dari 150 jenis bambu atau kurang lebih 11% dari jenis bambu yang ada di dunia adalah asli bambu Indonesia. Tumbuhan ini juga ramah lingkungan dan dapat tumbuh dengan cepat.

Bambu dapat diolah menjadi berbagai macam produk kreatif dan konvensional. Selain itu juga dapat dijadikan produk suplemen dan atau substitusi kayu. Diseluruh dunia lebih dari 1,5 milyar orang bergantung pada bambu dengan nilai ekonomi lebih dari USD 10 milyar.

Beberapa karakteristik yang menjadi kelebihan bambu antara lain bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan pertumbuhan biomas tinggi. Bambu mempunyai waktu panen yang relatif cepat, lebih cepat dari pada pohon. Setiap tahunnya, bambu menghasilkan batang baru. Serta secara biofisik menghasilkan selulosa 2-6 kali lebih besar dari pinus. Jenis-jenis bambu yang baik untuk pulp/kertas seperti bambu kuning, bambu petung, bambu tali, bambu andong dan bambu ampel.

Sedangkan untuk lahan basah/wet land beberapa jenis yang dapat dikembangkan yaitu geronggang (Cratoxylon arborescens),  terentang (Campnosperma coriaceum), Shorea blangeran dan jelutung rawa.

Geronggang

Kayu geronggang tersebar di Indonesia meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Biasa ditemui berasosiasi dengan hutan kerangas atau dipterokarpa dan berperan sebagai tumbuhan pionir. Silk, (2011).

Penelitian dari BPTSTH menunjukkan bahwa tanaman geronggang umur 3,5 tahun mempunyai persen hidup 85,6% dengan tinggi 7,72 m, diameter. 8,44 cm. Serasah yang dihasilkan sebesar 7,04 ton/ha/th dengan masa dekomposisi serasah sekitar 2,71 tahun. Tanaman ini mempunyai BJ 0,46; lignin 30,97 %; selulosa 54,73 %; panjang serat 1.257,54 µm; rendemen pulp 44,97 %; wood consumption 4,83 m3 kayu/ton pulp

Terentang

Terentang yang bernama latin Campnosperma coriaceum ini, sebaran alami di Indonesia terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera terutama di Riau yaitu di Kabupaten Siak, Dumai, Pelalawan dan Rokan Hilir. Sedangkan di Kalimantan yaitu di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Sebaran terentang pada daerah dengan ketinggian 10-800 m dpl pada iklim A-B. Jenis ini tumbuh baik pada daerah rawa gambut. Terentang merupakan bahan kayu pulp kualitas II-III (BJ 0,35-0,43) dengan rendemen 45-47%, produk kertas dan papan serat dari kayu ini telah cukupmemenuhi standar SNI.

Pada penelitian BPTSTH menunjukkan terentang umur 2 tahun mempunyai persen hidup sebesar 74%, dan mempunyai tinggi 1,27 cm serta diameter 5,56 cm. BJ 0,38; lignin 26,64 %; selulosa 53,03 %; panjang serat 1.378,96 µm; rendemen pulp 45,24 %; wood consumption 5,77 m3 kayu/ton pulp.

Blangeran

Blangeran (Shorea balangeran) merupakan salah satu jenis meranti yang ditemui di lahan rawa gambut, termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Menurut Martawijaya et.al. (1989) blangeran sering disebut juga belangeran, belangir, belangiran, melangir (Sumatera), kahoi, kahui, kawi (Kalimantan).Jenis ini tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Pohon ini tumbuh pada daerah rawa gambut dan hutan kerangas yang relatif memiliki keasaman tinggi (Heyne, 1987). Kayu jenis ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena memiliki kelas awet II dan kelas kuat II (Martawijaya dan Kartasujana, 1977).

Menurut tingkat kelangkaannya maka S. balangeran masuk dalam kategori critically endangered menurut IUCN, sehingga diperlukan upaya pengembangan jenis tersebut untuk kegitan rehabilitasi maupun pembangunan hutan tanaman produksi (Tri Atmoko, 2011).

Masyarakat Kalimantan Tengah telah lama mengenal pohon balangeran sebagai penghasil kayu pertukangan yang bagus, bahkan kayu balangeran menduduki peringkat nomor dua karena memiliki kualitas kuat dan kelas awet setelah kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri). Walaupun sangat diminati, namun sampai saat ini belum ada masyarakat yang membudidayakannya. Hal ini diduga karena balangeran memiliki umur masak tebang yang lama yaitu lebih dari 20 tahun, sehingga masyarakat cenderung memilih jenis-jenis yang cepat mendatangkan hasil seperti jelutung untuk disadap getahnya, menanam karet dan kelapa sawit (Reni Setyo W. dkk., 2012).

Untuk menunjang pengadaan bibit balangeran yang baik dalam program rehabilitasi lahan, saat ini telah tersedia beberapa tegakan benih yang ditunjuk sebagai sumber benih oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) wilayah Kalimantan, seperti: TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi) di Desa Petak Bahandang Kabupaten Katingan (luas 37,5 ha, potensi 1.012 pohon). TBT di Desa Sakakajang di Kabupaten Pulang Pisau (luas 2 ha, potensi 130 pohon, dan TBT di Desa Sebaru Kabupaten Palangkaraya (luas 40 ha, potensi 800 pohon)(Anonim, 2011). 

Jelutung Rawa

Jelutung rawa mempunyai nama ilmiah (Dyera lowii Hook.f.) nama perdagangan kayu jelutung. Nama daerah anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung, labuai, lebuai, letung, melabuai, nyalutung, nyulutung, pidoron (Sumatra) ,jelutung, pantung, pulut (Kalimantan).

Jelutung dapat tumbuh dengan baik pada tanah organosol (gambut). Jenis ini banyak dijumpai pada hutan rawa gambut dengan tipe curah hujan A dan B pada ketinggian 20-800 meter dari permukaan laut.

Sebaran alami jelutung meliputi Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur.

Tinggi pohon dapat mencapai 60 meter dan diameter 260 cm, sedangkan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 meter. Bentuk batang silindris dan tidak berbanir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kehitam-hitaman. Kulit luar rata tetapi kasar, mempunyai sisik berbentuk bujur sangkar, tebal kulit batang 1-2 cm, tidak berbulu, bergetah putih sampai kuning, halus dan tidak berteras.

Beberapa jenis tumbuhan tersebut di atas dapat dijadikan jenis alternatif yang dapat dikembangkan di lahan gambut. Jenis tumbuhan asli hutan gambut (indegenous species) sangat dianjurkan untuk digunakan dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut karena mampu beradaptasi dengan baik pada areal bergambut.

Aksi terdekat yang dapat dilakukan terkait jenis alternatif pulp/kertas maupun untuk penanggulangan kebakaran khususnya lahan gambut adalah harus segera mulai mengangkat/mempromosikan jenis-jenis baru seperti geronggang (Cratoxylon arborescens), terentang (Campnosperma coriaceum) dan jabon dalam skala luas. Kemudian yang kedua, perlu kerjasama yang intensif antara BBPBPTH, BPTSTH dan user. Serta yang ketiga perlu menghidupkan kembali Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan dengan fokus tanaman HTI (pulp).

Dengan demikian apa yang kita harapkan seperti yang disampaikan oleh Dr. Mahfudz  sebelum pertemuan dapat terlaksana dengan baik.***(MNA)

Materi terkait:

  1. Perbanyakan Vegetatif dan Penanaman Waru Untuk Bahan Kerajinan dan Obat
  2. Budidaya Intensif Jabon
  3. Pemuliaan dan Benih Ungggul Acacia mangium
  4. Budidaya Acacia auriculiformis
  5. Budidaya Shorea Balangeran di Lahan Gambut
  6. Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa : Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut

 

BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

URL : http://biotifor.litbang.dephut.go.id atau http://www.biotifor.or.id 

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,  Purwobinangun, Yogyakarta 55582, Telp. 0274 - 895954, Fax.  0274 – 896080

 

http://www.forda-mof.org atau www.litbang.dephut.go.id

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Forestry Research and Development Agency (FORDA)

Penulis : Muhammad Nurdin Asfandi