Dientry oleh priyo - 15 March, 2015 - 2576 klik
5 (Lima) Opsi Kebijakan dalam Menyikapi Wacana Kebijakan Land Swap

FORDA (Bogor, 16/03/2015)_Ada lima (5) opsi kebijakan yang sesuai dengan skala prioritas dalam menyikapi wacana kebijakan land swap. Demikian yang disampaikan Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko, Yanto Rochmayanto,  Kushartati, Fenti Salaka, dan Zahrul Muttaqin, peneliti Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) dalam Policy Biref, Volume 8, No.3 Tahun 2014. Lima opsi kebijakan yang ditawarkan oleh Ekawati dkk, dalam menyikapi kebijakan land swap antara lain;

Pertama, menggunakan instrument kebijakan Payment Environmental Services (PES), misalnya lahan APL yang mengandung high conservation value tetap dikonversi dengan pemberian pajak atau diikutkan dalam skema REDD+. Selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga perlu mengapresiasi dan mendukung usulan pemda yang mengkonservasi lahan di luar kawasan hutan.

Kedua, land swap dilakukan melalui review RTRWP yang dapat dilakukansecara keseluruhan dalam review tata ruang 5 tahun sekali. Dimungkinkan juga dilakukan secara parsial yang diajukan oleh Bupati. Disini, komitmen pimpinan daerah terhadap kelestarian hutan sangat menentukan review RTRWP.

Ketiga, perbaikan tata kelola hutan dengan manajeman yang baik merupakan opsi yang utama daripada melakukan pertukaran hutan atau lahan

Keempat, pembelian lahan APL yang berhutan oleh pemerintah melalui APBN, tetapi pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup besar untuk opsi ini. Hal ini sudah dilakukan oleh DKI Jakarta dengan cara membeli lahan dari APBD untuk dijadikan hutan kota untuk menambah ruang terbuka hijau.

Kelima, tukar menukar kawasan hutan terdegradasi dengan APL berhutan. Areal yang mungkin dilakukan land swap adalah mempertahankan hutan primer yang ada di Hutan Primer Konversi (HPK). HPK adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

Konsep land swap seharusnya dipandang sebagai sebuah mekanisme restrukturisasi kawasan hutan agar lebih optimal mengingat di beberapa propinsi terdapat APL (Areal Penggunaan Lain) berhutan sedangkan kawasan hutan sebagian kondisinya rusak.  “Filosofi land swap seharusnya bukan semata-mata untuk konservasi (meningkatkan cadangan karbon) tetapi mempertimbangkan fungsi social-ekonomi dan ekologi, “kata Ekawati dkk.

Ekawati dkk mengatakan bahwa filosofi land swap bisa mengadopsi filosofi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini, yaitu memperluas kawasan hutan, dengan rasio minimal tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti 1: 1, bahkan dimungkinkan bisa lebih tergantung dari penilaian Tim Terpadu.

“Tukar-menukar kawasan hutan harus bisa menjamin luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS), pulau, dan/atau propinsi dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. Hal tersebut sesuai dengan amanah UU 41/1999 tentang Kehutanan,”ungkap Ekawati dkk.

Secara harfiah, land swap adalah tukar-menukar lahan. Land swap di sektor kehutanan dilakukan dengan cara menukar kawasan hutan yang terdegradasi dengan areal di luar kawasan hutan yang berhutan.

Wacana land swap muncul dalam dokumen Strategi Nasional REDD+, disebutkan bahwa pada fase II implementasi REDD+ akan dilakukan identifikasi secara spesifik dan menuntaskan persiapan land swap. Land swaping merupakan salah satu langkah strategis menuju efektivitas REDD+, tetapi apakah wacana tersebut bisa terealisasi?

Di Indonesi, gagasan land swap muncul sebagai bagian dari upaya mengakomodasikan dinamika perubahan social ekonomi dan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi peraturan yang ada tersebut belum mengatur tujuan tukar-menukar bagi kepentingan konservasi dan peraturan yang ada baru mengatur mengenai tukar-menukar untuk tujuan di luar kehutanan.

Untuk merealisasikan wacana land swap di Indonesia, maka harus dilihat kondisi kawasan hutannya terlebih dahulu. Dengan luas kawasan hutan di Indonesia adalah 124,02 juta hektar, sekitar 71,21% merupakan areal berhutan dan 28,78% lainnya areal tidak berhutan. Sementara luas APL adalah 63,89 juta hektar, sebesar 13% diantaranya masih berhutan (Data dan Informasi, Ditjen Planologi, 2013). Data tersebut menunjukkan bahwa bahwa ada kawasan hutan yang tidak berhutan dan terdapat APL yang berhutan sehingga muncul wacana land swap di Indonesia.

Apabila kebijakan land swap ini diimplementasikan, kemungkinan besar aka nada fragmentasi hutan. Hal tersebut akan berdampak social, ekonomi, politik, dan lingkungan. Fragmentasi hutan merupakan salah satu penyebab utama punahnya keanekaragaman hayati di beberapa lokasi. Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok lebih kecil akibat pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Hal ini harus menjadi pertimbangan dalam melaksanakan kebijakan land swap agar tidak menimbulkan kerusakan keanekaragaman hayati.***PKM

 

Koleksi foto : BPK Palembang

 

Hubungi lebih lanjut:

Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si dkk

Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)

http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau  http://www.puspijak.org

 Jl. Gunung Batu No. 5, Po.Box. 272,  Bogor 16110, Telp. 0251 - 8633944, Fax.  0251 - 8634924

 

http://www.forda-mof.org/ atau http://litbang.dephut.go.id/

#Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

#Forestry Research and Development Agency (FORDA)

Penulis : Priyo Kusumedi