Dientry oleh Tuti - 05 November, 2015 - 2524 klik
Ekosistem Gambut di Indonesia Rentan Kebakaran

FORDA (Bogor, 06/11/2015)­_Ekosistem gambut di Indonesia telah mengalami “over drainage” sehingga menjadi rentan terhadap kebakaran. Apalagi sistem kanalisasi yang ada tidak memperhatikan topografi lahan gambut. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, Rektor UGM di Kantor Presiden, Jakarta (Senin, 3/11).

“Tanah gambut dan vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan bahan bakar potensial yang apabila mengalami kekeringan akan mudah terbakar. Tanah gambut bersifat kering tak balik atau ireversible dryng yang apabila kekeringan dalam waktu lama akan sulit mengikat air kembali sehingga rawan kebakaran,”kata Dr. Drs. Acep Akbar, MBA, MP, Peneliti Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di Balai Penelitian kehutanan Banjarbaru (BPK Banjarbaru) (11/2014).

Hal ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah, karena Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20,6 juta hektar atau 50% luas lahan gambut tropika dunia dan sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Luas lahan tersebut menyebar di beberapa pulau di Sumatra (41,1%), Papua (23,1%), Kalimantan (22,8 %), Sulawesi (1,6%), dan Halmahera-Seram (0,5%).

Tidak mengherankan apabila pada rapat terbatas pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta penanganan korban kabut asap di Kantor Presiden, Jakarta pada hari Jum’at (23/10) lalu, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) untuk menerapkan one map policy,  tidak memberikan izin baru pengelolaan lahan baru gambut.

“Segera lakukan restorasi gambut, review izin-izin lama. Sudah harus keras kita, yang belum dibuka tidak boleh dibuka,”ujar Presiden.

Kebijakan tersebut diambil, karena pada tahun ini kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin parah.  Dimana titik api di Indonesia masih cukup banyak. Di Pulau Sumatera sebanyak 826 titik, paling banyak di Sumatera Selatan 703 titik. Di Pulau Kalimantan terdapat 974 titik.

Dalam mengendalikan kebakaran di lahan gambut, Acep mengingatkan ada 2 hal yang harus diperhatikan yaitu penyebab pemanasan awal (ignition) dan faktor pendukung serta alternatif pengelolaannya. Melalui pemahaman kedua aspek tersebut maka solusi pencegahan dapat diperoleh.

“Sebagian kalangan pengamat kebakaran hutan dan lahan menganggap bahwa terjadinya kebakaran hutan yang berulang merupakan gejala pengelolaan hutan tidak bijaksana. Pada dasarnya anggapan ini berhubungan dengan adanya faktor-faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,”kata Acep.

Lebih lanjut, Acep menyatakan ada faktor lain yang paling vital dalam memicu kebakaran hutan dan lahan, yaitu adanya bahan-bakar berlimpah pada lantai hutan dan lahan serta gejala alam El-Nino. Sedangkan faktor pendukung lainnya, antara lain penguasaan lahan yang terlalu luas oleh masyarakat, alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, degradasi hutan dan lahan yang terus berlangsung, pertimbangan ekonomi lahan, dan dampak perubahan karakteristik kependudukan. 

“Perlu diingat bahwa, pada dasarnya manusia hanya mampu memadamkan api kecil secara dini dan melakukan pencegahan terjadinya api besar. Kebakaran yang terlanjur besar dan luas merupakan bencana yang sangat sulit diatasi. Api hanya dapat padam setelah bahan bakar habis atau turun hujan selama dua minggu hampir berturut-turut,”tegas Acep.

Untuk mengendalikan kebakaran hutan atau lahan di gambut, ada dua langkah alternatif yang disarankan oleh Acep, yaitu pemberdayaan masyarakat sekitar hutan serta membangun model hutan beresiko kecil kebakaran melalui manajemen bahan bakar yang mengarah ke minimasi bahan bakar potensial pada lantai hutan, persiapan lahan menuju PLTB, pemilihan jenis pohon yang dikembangkan, agroforestri, pembuatan sekat bakar, pembuatan sumur, dan tower pengamat kebakaran dapat menurunkan risiko hutan terhadap kebakaran.

Acep menyatakan bahwa dalam mengendalikan dan memadamkan kebakaran hutan juga diperlukan rekayasa alat. Dimana sampai saat ini, BPK Banjarbaru telah merekayasa 10 jenis alat untuk pemadaman kebakaran di hutan dan lahan rawa gambut, antara lain: 1). Pompa pemadam jinjing tekanan tinggi (Robin) dilengkapi selang 5 rol (100 m), selang isap 4 m, saringan(filter), alat gendong mesin, dan nozzle; 2). Kantong air portable 1000 liter; 3). Pompa jufa; 4). Kepyok; 5). Stik jarum; 6). Obor sulut; 7). Cangkul garu mata panjang; 8). Cangkul garu; 9). Cangkul api; dan 10). Kapak mata dua.

Sedangkan secara fisik atau aspek teknis, salah satu pencegahan kebakaran di lahan gambut dilakukan dengan pembangunan kanal-kanal. “Pembendungan kanal bertujuan untuk menghindari pengeringan gambut di musim kering karena gambut memiliki sifat kering tidak balik,”kata Acep. 

Di sisi lain, Dwikorita menyarankan bahwa dalam pembuatan kanal hendaknya diperhatikan zonasi air dengan membuat ketinggian air dalam level tertentu sehingga pengelolaan air dalam kanal sesuai dengan topografinya. ***THS.

 

Sumber:

  1. Presiden: Tidak Ada Lagi Izin Baru Kelola Gambut
  2. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian “30 Tahun BPK Banjarbaru dalam Pembangunan Kehutanan”
  3. Pakar:Selamatkan lahan gambut dengan konservasi kubah
  4. Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut Indonesia:Penyebab, Faktor pendukung dan Alternatif pengelolaanya oleh Dr. Drs. Acep Akbar, MBA., MP
  5. Rumusan Tentatif Masalah Kebakaran Hutan Dalam Seminar Nasional Benih Unggul 19-20 November 2014 Di Yogyakarta (Lpp)

 

 

Informasi Lebih Lanjut:

Dr. Drs. Acep Akbar, MBA., MP
acepakbar@foreibanjarbaru

BPK Banjarbaru
Jl Ahmad Yani Km.28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721,
Telp. 0511 - 4707872, Fax.  0511 - 4707872

 

Penulis : Tri Hastuti Swandayani