Dientry oleh lusi - 07 December, 2015 - 1670 klik
Dari Indonesia untuk Dunia: Pengelolaan Lahan untuk Cegah Perubahan Iklim

Indonesia memiliki contoh praktek pengelolaan lahan berkesinambungan sehingga bisa menjadi satu upaya mencegah perubahan iklim. Indonesia telah mempraktekkan kesetaraan gender dalam pengelolaan lahan, dan masyarakat adat Indonesia telah mempraktekkan upaya menjaga kelestarian hutan.
 
Di sela-sela acara COP 21 Paris, Perancis, digelar kegiatan Global Landscapes Forum (GLF) pada Sabtu – Minggu, 5-6 Desember. Kegiatan GLF untuk membicarakan inisiatif-inisiatif upaya mengatasi dan adaptasi perubahan iklim dari sektor pengunaan lahan. Alih fungsi lahan dan pengelolaan lahan yang tidak berkesinambungan turut menjadi faktor pendorong mempercepat perubahan iklim. Di GLF digelar beragam sesi diantaranya mengenai kesetaraan gender dan sesi masyarakat adat.
 
Di sesi This Land is Our Land: Gender Perspectives on Tenure and Rights dibahas bahwa keadilan gender dalam hak kepemilikan lahan menjadi faktor penting dalam upaya restorasi lahan di negara-negara berkembang untuk turut mencegah perubahan iklim. Perempuan memiliki keahlian untuk mengelola lahan secara berkelanjutan dan dapat memproduksi banyak hasil pangan, tapi di banyak negara perempuan sedikit yang memiliki lahan.
 
Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian LHK, sebagai salah satu pembicara di sesi tersebut mengatakan Indonesia telah mempraktekkan keadilan gender dalam hak kepemilikan lahan. Misalnya di Sumatera Barat, perempuan lebih dominan sebagai pemilik lahan. Hal sama juga ada di beberapa daerah lain.
 
Menurut Hadi Daryanto, pemerintah juga memberikan inisiatif distribusi lahan untuk perhutanan sosial. Masyarakat lokal di sekitar wilayah hutan dapat meminta izin untuk mengelola lahan hutan milik negara. Ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus tetap menjaga kelestarian hutan.
 
Sementara itu di sesi Pixel perfection for carbon detection: How technologies and communities can curb global emissions from land-use change, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan masyarakata adat di Indonesia telah mempraktekan dan terbukti mampu menjaga kelestarian hutan adat. Jadi melibatkan masyarakat adat merupakan langkah yg paling baik untuk dapat mengurangi emisi. Namun selama ini masyarakat adat tidak terdata dalam statistik. Karena itu di dalam global map selain memonitor emisi, harus ada keberadaan masyaràkat karena bisa membantu negara menjaga hutan yang ada.
 
Pada tanggal 6 Desember, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Dirjen PPI), Kementerian LHK diundang untuk menyampaikan closing remarks dalam acara di Global Landscape Forum (GLF) CIFOR 'Uncertainty in tropical landscape : emerging data and models as a bridge between the past and visions for tomorrow". Ada beberapa isu kunci yang dibicarakan yaitu: 1. Bagaimana monitoring dan modelling perubahan tutupan lahan membantu kebijakan untuk dapat menjaga keseimbangan antara konservasi dan produksi, 2. Bagaimana butir 1 tersebut menyediakan pilihan-pilihan untuk mencapai kesepakatan multilateral, 3. Interaksi yang diperlukan antar pihak dan antar sektor, 4. Pembelajaran dari beberapa regional, 5. Persyaratan untuk Lembaga MRV. 
 
Dirjen PPI menyampaikan bahwa kekuatan models sebagai decision tools adalah baik dalam formulasi maupun implementasi kebijakan terutama yang melibatkan kompleksitas tinggi. Namun demikian, penggunaan model, modelling, dan hasilnya harus dilakukan dengan bijak dan tahu kekuatan dan kelemahannya. Pengambil keputusan harus tahu seberapa jauh tingkat kepercayaan dari angka yang dihasilkan dari modeling dan model. Sebagai contoh, untuk emisi, melalui pemahaman terlebih dahulu dari mana angka diperoleh, data yang dipakai, termasuk skala dan dimensi waktunya serta asumsi-asumsi yang dipakai. Pada akhirnya yang terpenting pula adalah transparansi, kejelasan, konsistensi dan pemahaman terhadap angka adalah krusial agar digunakan secara bijak dan dapat mendekati konidisi senyatanya.