Dientry oleh priyo - 06 January, 2016 - 3033 klik
Minimalisir Konflik Tenurial dengan Partisipasi Aktif Masyarakat

FORDA (Bogor, 05/01/2016)_Konflik tenurial dalam pengelolaan hutan bukanlah hal yang baru, tetapi merupakan isu lama dan belum terselesaikan sampai sekarang. Selain itu, konflik ini semakin mencuat pada era reformasi. Tetapi Dr. Henry Bastaman, MES, Kepala Badan Litbang dan Inovasi, yakin bahwa adanya struktur organisasi baru (penggabungan KLH dan Kemenhut) bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Hal tersebut disampaikan Kabadan pada saat memberikan sambutan pada acara Pembukaan Workshop Perencanaan Pengelolaan Hutan Masyarakat di Indonesia (Community Forest Management Planning in Indonesia) di Hotel Santika, Bogor Selasa (05/01/2016).

“Dalam Nawacita disebutkan bahwa pembangunan harus dimulai dari pinggir. Hal ini berarti masyarakat atau rakyat merupakan prioritas. Begitu juga dalam pengelolaan atau pembangunan kehutanan, masyarakat harus dilibatkan,”kata Henry.

Henry sadar bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebetulnya sudah lama diusahakan dan diupayakan, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kabadan merasa bahwa salah satu penyebabnya adalah bahwa selama ini perencanaan pengelolaan hutan selalu dilakukan secara top down bukan bottom up.

Henry menyatakan bahwa dengan bottom up planning maka rencana pengelolaan didasarkan pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terkena dampak dan bisa diselaraskan dengan rencana dan prioritas tingkat nasional. Selain itu, masyarakat bisa dilibatkan dan mempunyai rasa memiliki sehingga mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan hutan dan berimbas pada minimnya konflik tenurial.

Menurut Henry, partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan tersebut sangat penting. Badan Litbang dan Inovasi (BLI) tidak boleh memandang sebelah mata. BLI harus bisa memberikan masukan kelitbangan bagaimana kebijakan implementasinya dan menjadikan masyarakat sebagai prioritasnyaOleh karena itu, Henry menyambut baik adanya kerjasama BLI dengan the Regional ASEAN-Korean Forest Cooperation (AFoCo) dalam menyelenggarakan workshop yang bertemakan ‘Perencanaan Pengelolaan Hutan Masyarakat di Indonesia : Kondisi Saat ini dan Implementasinya’. Workshop tersebut dilaksanakan selama dua hari tanggal 5-6 Januari 2016.

“Diharapkan pertemuan ini bisa lebih memastikan solusi pemecahan konflik di lapangan. Selain itu, bisa menghasilkan roadmap dan metodologi bersama dalam pengelolaan hutan masyarakat di Indonesia,”kata Henry.

Selain itu, Henry berharap bahwa Indonesia harus bisa menjadi trend center dan menjadi lead dalam implementasi hutan masyarakat serta bisa memberikan contoh bersama-sama dengan dua negara lainya yaitu Filipina dan Thailand terkait pengelolaan hutan masyarakat. Diketahui bahwa hasil workshop ini akan disampaikan dalam Regional Workshop di Filipina.

Disisi lain, Ir. Muhammad Said, MM., Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkunga, yang dalam kesempatan ini mewakili Direktur Jenderal Badan Planologi dan Tata Lingkungan Sebagai Keynote Speaker menyatakan bahwa salah satu solusi yang dilakukan untuk mengurangi konflik tenurial tersebut peningkatan akses masyakat ke sumber daya hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan alokasi lahan hutan sumber daya hutan.

Dimana kebijakannya sudah dimandatkan dalam nawacita dan RPJMN 2015-2019. Adapun kebijakan tersebut adalah sekitar 4,1 juta ha kawasan hutan yang akan dilepas sebagau sumber tanah obyek reforma agraria (TORA) dan sekitar 12,7 juta ha kawasan hutan digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat untuk mengelola hutan melalui hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan hutan rakyat serta kemitraan.

“Diperlukan identifikasi atau data tanah sampai tingkat nama dan alamat untuk menghindari terjadinya konflik baru. Apabila tanah mendukung dan memenuhi kriteria maka dijadikan reforma agraria, apabila tidak maka dijadikan perhutanan sosial,”kata Said.

Terkait kebijakan tersebut, Dr. Dede Rohadi, Peneliti BLI, merasa khawatir bahwa hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dimana target akan tertuju pada angka bukan kualitas. Beliau menyarankan bahwa sebaiknya mengambil key point dari pelajaran atau success story sebagai strategi di tingkat tapak.

“Kita harus menanggalkan baju masing-masing. Kita mencari strategi yang positif dan memilih lembaga yang berwenang. Bisa dinas maupun kementerian, “tegas Dede. ***THS.

Penulis : Tri Hastuti Swandayani