Dientry oleh Rizda - 20 January, 2016 - 2712 klik
Ekspose Hasil Penelitian tentang Banjir dan Longsor melalui Temu Media

Balitek DAS (Solo, 19/01/2016)_Selasa (19/01) bertempat di Ruang OR1, Balai Penelitian Teknologi Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS) Solo mengadakan konferensi pers “Temu Media: Ekspose Hasil Penelitian tentang Banjir dan Longsor”. Konferensi pers ini diadakan untuk mengekspose hasil-hasil penelitian Balitek DAS mengenai banjir Bengawan Solo dan longsor di Provinsi Jawa Tengah.

“Semoga hasil penelitian kami bisa bermanfaat bagi nusa dan bangsa, menjadi early warning system bagi Pemda, BPBD, daerah-daerah rawan sehingga dapat meminimalkan potensi korban,” kata Dr. Nur Sumedi, Kepala Balitek DAS Solo kepada wartawan media nasional, baik media cetak maupun media elektronik yang hadir. 

Dalam konferensi pers tersebut, Ir Syahrul Donie, M.Si, ketua tim penelitian tentang longsor menyebutkan Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah paling rawan terjadi longsor di Indonesia. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh BNPB tahun 2014, sedikitnya ada 327 titik potensi longsor yang tersebar di 27 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Selain itu, BNPB juga menyatakan banyaknya kejadian longsor di Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 194 kejadian pada rentang waktu tahun 2011 sampai dengan 2015 (BNPB, 2015). 

Wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi perhatian khusus karena tingkat kerawanan longsor yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Semarang, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Banjarnegara. 

Terkait itu, tim peneliti longsor Balitek DAS menemukan bahwa faktor penyebab utama dari kejadian tanah longsor di enam kabupaten tersebut adalah kemiringan lereng dan bentuk lerengnya, kemudian adanya patahan (geologi), regolit tanah dalam, dan tekstur tanah. Hal ini dipicu oleh kondisi curah hujan yang tinggi (> 200 mm/ 3 hari kumulatif berturut-turut) dan perilaku masyarakat, seperti melakukan pemotongan lereng, menambah beban lereng dan kurang memelihara saluran/ drainase dengan baik. 

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa longsor banyak terjadi di bulan November sampai dengan bulan Februari dengan kejadian longsor tertinggi berada di bulan Februari. Sehingga kewaspadaan akan bencana longsor perlu ditingkatkan di bulan Februari,” jelas Donie. 

Lebih lanjut, Donie menjelaskan upaya penanganan longsor yang paling bijak yang dilakukan oleh tim peneliti longsor Balitek DAS adalah dengan hidup secara harmoni dengan bencana. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara edukasi mengenal tanda-tanda longsor, melakukan pengamanan secara vegetatif, serta mengaktifkan lembaga tanggap bencana longsor. 

Menurut Donie, penguatan kelembagaan lokal sebagai upaya early warning system dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti memasang pendeteksi terjadinya pergerakan tanah seperti Sling atau Bandul, Ekstensometer. Langkah selanjutnya adalah memasang penakar hujan. Jika terjadi curah hujan yang tinggi (> 200 mm/ 3 hari kumulatif berturut-turut), maka masyarakat perlu waspada akan potensi longsor.

“Sistem komunikasi juga perlu dibangun sebagai warning system. Untuk solusi jangka panjang dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan masyarakat,” kata Donie.

Hasil penelitian lainnya yang diekspose pada konferensi pers tersebut adalah penelitian mengenai banjir di DAS Bengawan Solo. Melalui konferansi pers ini, tim peneliti banjir Balitek DAS sekaligus ingin mengedukasi mengenai istilah-istilah banjir yang selama ini dipahami oleh masyarakat. Menurut Dr. Ir. Endang Savitri, M.Sc, ketua tim penelitian mengenai banjir, masyarakat maupun media sering keliru dalam penyebutan banjir genangan dan banjir bandang.

"Banjir genangan adalah banjir yang disebabkan oleh besarnya volume air sungai yang melebihi daya tampung sungainya sehingga meluap ke luar badan sungai.  Banjir ini sifat alirannya lambat, dan cenderung menjadi genangan setelah keluar dari badan sungai. Kecepatan surutnya air banjir ini juga relatif lambat. Sifat-sifat ini yang membedakan dengan kejadian banjir bandang yang memiliki sifat sebaliknya, aliran yang sangat cepat datang dan perginya. Banjir bandang terjadi karena aliran yang terbendung jebol, terjadi di wilayah hulu DAS dengan topografi berlereng, dan alirannya membawa debris (bahan rombakan seperti batu, lumpur dan kayu-kayuan)," kata Endang menjelaskan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa tim peneliti banjir Balitek DAS menemukan bahwa banjir di Bengawan Solo terjadi salah satunya karena kurang berfungsinya wilayah resapan (recharge area) terutama di hulu DAS, yang juga merupakan wilayah pemasok air banjir. Selain curah hujan tinggi yang sifatnya alami, penurunan fungsi wilayah resapan juga disebabkan oleh keberadaan lahan hutan (tanaman keras) yang kurang dari segi kecukupan luasnya maupun penyebarannya, sehingga kurang mampu mengendalikan banjir.

Berdasarkan hasil analisis, saat ini luas tutupan hutan di DAS Bengawan Solo hanya sekitar 24%, angka yang sangat kecil untuk bisa menjaga fungsi hidrologis DAS. Kondisi tersebut diperparah dengan distribusi tutupan hutan yang lebih banyak tersebar di daerah hilir (Ngawi ke hilir), dimana daerah tersebut merupakan daerah yang letaknya di dataran yang sering kebanjiran, dan bukan di wilayah hulu DAS (wilayah resapan).

Di sisi lain, sebaran pasokan air banjir dengan intensitas tinggi dan sangat tinggi sebagian besar berada di wilayah tengah dan hulu DAS (Ngawi ke hulu sampai Wonogiri dan Boyolali), yang tutupan lahannya lebih didominasi oleh tegalan dan sawah.

Solusi yang bisa dilakukan untuk menanggulangi banjir menurut tim peneliti banjir Balitek DAS adalah dengan memperbaiki tutupan lahan di hulu-hulu DAS/Sub DAS dengan cara mengintroduksi pola agroforestri karena memiliki fungsi ekonomis sekaligus fungsi ekologis.

Penanganan banjir dengan merubah pola penutupan lahan tegal menjadi agroforestri merupakan penanganan jangka panjang dan lebih efektif karena menangani pada sumber pasokan air banjir atau area resapan. Penanganan jangka pendek dengan mengeruk sungai atau membuat tanggul tidak akan efektif jika masalah utama di daerah hulu tidak ditangani secara terpadu. Jadi, penanganan banjir DAS Bengawan Solo harus dilakukan secara simultan dari hulu sampai hilir.

Anggota tim penelitian mengenai banjir adalah Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc, Drs Rahardyan Nugroho Adi,M.Sc, Dr Agung Budi Supangat, S.Hut, M.T, Faiqotul Falah, S.Hut, M.Si, dan Ir Dewi Retna Indrawati, M.P. Sedangkan anggota tim penelitian tentang longsor adalah Nur Ainun Jariyah, S.Hut, M.Sc, Ir Purwanto, M.Si, Pranata Dyah Susanti, S.P, M.S, dan Ir Beny Harjadi, M.Sc.***NE

 

Penulis : NE