Dientry oleh Tuti - 08 December, 2016 - 1885 klik
Peneliti Memegang Peranan Penting dalam Reformasi Tata Kelola Hutan

P3H (Bogor, 08/12/2016)_Reformasi atau perubahan tata kelola hutan di Indonesia tidak mungkin dapat dilawan. Persoalan pengelolaan hutan semakin kompleks dan telah bergeser dari paradigma the forest first ke arah the forest second yaitu kondisi biofisik dan kawasan hutan tidak lagi dapat diisolasi dari kentalnya nuansa sosial, kelembagaan serta politik. Dalam situasi tersebut, Peneliti harus bisa berperan aktif.

“Perubahan tidak dapat dilawan. Secara normatif komunitas peneliti menjadi salah satu harapan masyarakat untuk memulai, mengawal maupun meluruskan adanya perubahan,”kata Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB dalam acara diskusi ‘Basis Sains Penelitian dan Kebijakan Tata Kelola Hutan’ di Ruang Rapat Sudiarto Kampus Badan Litbang dan Inovasi gunung Batu Bogor, Selasa (06/12).

“Secara implisit harapan itu mengandung makna bahwa datangnya perubahan adalah dari pengembangan ilmu dan pengembangan cara pikir yang berasal dari para peneliti,”tambah Hariadi.

Lebih lanjut, Hariadi menyatakan bahwa dalam segala perubahan baik persoalan maupun pengelolaan hutan di Indonesia masih mempunyai tujuan dan visi yang tetap, yaitu hutan harus bisa dimanfaatkan secara adil dan lestari. Untuk itu diperlukan norma-norma seperti keadilan, kemanusian, keterbukaan dan akuntabilitas.

“Untuk mewujudkan hal itu, para peneliti dituntut untuk meningkatkan kualifikasinya untuk dapat melakukan pembaruan kerangka pemikiran yang berujung pada pembaruan tindakan secara adil dan berlandaskan kemanusiaan serta menjalankan tata kelola yang baik (good governance) di dunia kerjanya, yaitu melalui pemahaman kondisi lapangan atau konteksnya, maupun mengetahui tantangan sosial, institusi dan politik bagaimana hal baru itu dapat diwujudkan,”kata Hariadi.

Terkait hal tersebut, dalam proses diskusi yang dilaksanakan oleh Pusat Litbang Hutan (P3H) menghasilkan suatu kesepakatan bahwa domain riset tidak berhenti dalam jurnal atau publikasi. Hal ini disebabkan karena letak power of knowledge tidak cukup dapat diindikasi oleh karya-karya ilmiah. Tetapi bagaimana mengadopsikan isi karya ilmiah tersebut dalam regulasi dan praktek tata kelola hutan sehingga dapat berlanjut/lestari.

Pada kesempatan tersebut, Hariadi juga menawarkan rekomendasi kepada para peneliti untuk meningkatkan kepekaan sosial politik meski bidangnya teknis, sehingga tidak salah menetapkan problem/masalah.

Secara sederhana dicontohkan bahwa jarak tanam optimal jenis pohon tertentu 2 x 3 m2, secara sosial mungkin lebih baik 4 x 9 m2, karena masyarakat perlu lahan tumpangsari dan di lokasi ini hutan bisa terwujud hanya jika mendapat legitimasi masyarakat.

Disadari oleh Hariadi bahwa kompleksitasnya problem lapangan tidak cukup dapat diselesaikan dengan kebenaran parsial dalam arti hasil-hasil riset parsial. Kebenaran hanya relevan di satu tempat namun tidak relevan di tempat lain. Kebenaran parsial itu seringkali dikritisi, diuji atau mendapat sangkalan dari kebenaran parsial lainnya, sehingga membutuhkan integrasi trans kebenaran-kebenaran tersebut. Integrasi kebenaran-kebenaran tersebut senantiasa diganjal oleh konflik kepentingan, kesalahan menetapkan masalah/problem, dan pendekatan administrasi secara berlebihan.

Selain kesepekatan di atas, diskusi ini juga menghasilkan beberapa komitmen untuk segera melakukan perubahan-perubahan antara lain:

  1. Mempersiapkan dan melaksanakan diskusi-diskusi yang topik-topiknya harus diisi dengan materi-materi lintas bidang penelitian yang mungkin juga harus dilakukan lintas instansi;

  2. Para peneliti diharapkan mempunyai frame atau kerangka pikir baru terhadap dunia kehutanan dengan memahami ilmu-ilmu secara spesifik maupun gambar besar kehutanan yang akan dihadapinya. Disamping itu, para peneliti diharapkan memahami daya guna hasil-hasil penelitian di bidang lain serta keterbatasan hasil-hasil penelitiannya sendiri, sehingga pentingnya kerjasama trans-disiplin antar bidang penelitian sudah tertanam sejak di dalam pikiran;

  3. Para peneliti diharapkan senantiasa mendapat berbagai informasi apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata yang akan menjadi obyek penelitiannya. Dari proses ini diharapkan para peneliti mempunyai kepekaan sosial-politik, walaupun ilmu sosial politik bukan bidangnya;

  4. Kerjasama secara terstruktur antara para peneliti, dunia kampus, Pemerintah/Pemda, dunia usaha, maupun organisasi masyarakat sipil (LSM dan media) akan secara otomatis menjadi kebutuhan, karena orientasi dalam pikiran peneliti adalah perbaikan dunia nyata dan bukan sekedar adanya publikasi ataupun sekedar digunakannya hasil penelitian itu dalam teks kebijakan.

  5. Dari proses itu, diharapkan di kalangan peneliti tertanam nilai-nilai kepedulian terhadap aspek-aspek kemanusiaan, ketidak-adilan, maupun kerjasama dengan para peneliti bidang ilmu lain, karena ketika mereka melihat kenyataan di lapangan sesungguhnya adalah melihat persoalan di ketiga aspek itu. ***YS.

 

Informasi Lebih lanjut:

PUSAT LITBANG HUTAN (P3H)

url : http://puskonser.litbang.dephut.go.id atau  http://puskonser.or.id

Jl. Gunung Batu No. 5,  Po. Box. 165, Bogor 16610, Telp. 0251- 8633234, 520067,  Fax.  0251 - 8638111

 

Penulis : Yayuk Siswanti