Dientry oleh Rizda - 14 December, 2016 - 3534 klik
Jejak Kapur Barus dan Kemenyan Sumatera dalam Peradaban Dunia

BP2LHK Aek Nauli (Parapat, 8/12/2016)_Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial-Universitas Negeri Medan (PUSSIS Unimed) bekerja sama dengan Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli menyelenggarakan Seminar dan Pameran Etnobotani bertema “Jejak Kapur Barus dan Kemenyan Sumatera dalam Peradaban Dunia”. 

Dr. Phill. Ichwan Azhari, Ketua PUSSIS selaku narasumber menjelaskan bahwa bukti sejarah terlama yang menggambarkan perdagangan Kapur Barus dan Kemenyan di Nusantara adalah Laporan ekspedisi I-Tsing (Tarihk 640 M). Dalam laporan perjalanannya ke Sriwijaya, kedua hasil hutan bukan kayu (HHBK) ini digambarkan telah menjadi komoditas utama yang sangat mahal harganya, sebagai perbandingan pada waktu itu satu gram Kristal kapur setara harganya dengan satu gram emas murni. 

Namun, tidak disebutkan bahwa kapur dan kemenyan yang diperdagangkan tersebut diperoleh dari daerah Tapanuli. Oleh karenanya, klaim sejarah kota Barus telah memiliki hubungan internasional dengan Mesir dan Timur Tengah pada abad-abad sebelum masehi masih diperdebatkan. 

Berbeda dengan itu, sebaran habitat kedua komoditas ini menjadi bukti bahwa pelabuhan Barus pernah jadi pusat perdagangan dan peradaban. Aswandi, peneliti BP2LHK, salah satu narasumber menjelaskan bahwa Kapur Barus hanya diperoleh dari pohon kapur (Dryobalanops aromatica) yang hidup secara alami dan hanya tersebar di hutan alam dataran rendah hingga 400 mdpl mulai dari Aceh bagian selatan, Singkil, Manduamas, Natal, Rokan Hulu, Batanghari dan Kepulauan Riau. 

Tidak seperti kemenyan durame (Styrax benzoin) yang dapat tumbuh di dataran rendah (yang juga ditemukan di pesisir Aceh dan Sumatera Barat selain di Tapanuli), Kemenyan toba (Styrax sumatrana) yang memiliki kualitas resin yang lebih baik, tumbuh secara alami terkonsentrasi hanya (endemik) di dataran tinggi Danau Toba pada ketinggian 700-1200 mdpl. Secara geografis, daerah-daerah ini berada persis di sekitar kota Barus. 

Saat ini, pohon kapur barus masih ditemukan di sekitar Barus dan Singkil walaupun dengan populasi yang sangat mengkhawatirkan. Demikian juga dengan budidaya kemenyan di Tapanuli yang masih bertahan dengan berbagai tantangan seperti perubahan penutupan lahan, penurunan produktivitas akibat pohon-pohon semakin tua dan tidak adanya upaya peremajaan. Dinamika sosial budaya juga menyebabkan sebagai petani tidak tertarik lagi melanjutkan upaya turun-temurun ini. 

Menurut Aswandi, penurunan produktivitas getah kemenyan harus segera diatasi dengan penyediaan bibit unggul berkualitas dan penyiapan skema-skema yang berpihak kepada petani. Peningkatan pemanfaatan resin kapur dan kemenyan untuk bahan pengobatan organik menjadi peluang riset, apalagi sudah mulai bermunculan investor dalam dan luar negeri untuk mengembangkannya. 

Materi pameran yang menjadi pusat perhatian khalayak diantaranya peninggalan getah damar yang ditemukan pada berbagai situ purbakala seperti pada candi Simanganbat di Mandailing Natal (Abad IX-XI) dan Candi Koto Rao di Pasaman Barat. 

Menurut Dr. (kandidat) Ery Soedowo, M.Hum dari Balai Arkeolog Sumatera Utara, narasumber lainnya, keberadaan damar tersebut memiliki fungsi Sakral yakni sebagai salah satu materi isian dalam periuk yang ditemukan di situs-situs percandian dan berfungsi sebagai “benih kuil/candi” yang disebut garbhapātra, atau peripih dalam tradisi Jawa, atau pedagingan dalam tradisi Bali. 

Selain upaya pemuliaan kemenyan dan pelestarian tanaman kapur dan taxus endemik Danau Toba, poster damar kemenyan yang diperkirakan berumur puluhan tahun juga ditampilkan. Damar tersebut diperoleh tim peneliti BP2LHK Aek Nauli di Subulussalam Aceh pada pohon besar tua berdiameter lebih dari 3 meter yang berlubang dan bisa menampung 3 orang dewasa. 

Acara yang dibuka Kepala Program Studi Sejarah mewakili Rektor Unimed ini dihadiri 200 orang dari 150 undangan yang dikirimkan dan diliput media cetak dan televisi nasional. Dalam sambutannya di hadapan peserta dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, Kepala Program menegaskan kembali pentingnya penelusuran ilmiah sejarah nusantara sebagai bagian dari pencarian jati diri bangsa. 

Di akhir acara yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Negeri Medan, Rabu (7/12) ini, panitia dan narasumber saling bertukar souvenir berupa plakat dan belasan bibit kapur Barus yang akan ditanam di lingkungan Unimed.***CRK

Penulis : Cut Rizlani