Dientry oleh Rizda - 20 January, 2017 - 3592 klik
Teknologi “Agroforestri Komplek – Permanen Berbasis Pangan” Mendesak Diaplikasikan

BP2TA (Ciamis, 17/01/2017)_Saat memaparkan karya tulis ilmiahnya dalam Seminar Nasional Agroforestry 2015 di Gedung Bale Sawala Universitas Padjajaran, Bandung, Kamis (19/11), Dr. Murniati, Peneliti Pusat Litbang Hutan menyampaikan, aplikasi teknologi agroforestri komplek – permanen berbasis pangan di dalam kawasan hutan mendesak dilakukan. 

Hal ini sebagai upaya mendukung ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi dan diversifikasi pangan, mewujudkan diversifikasi produk hutan dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan. 

Sebagaimana diketahui, ketahanan pangan dewasa ini sangat terkait dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga menuntut penyediaan pangan dalam jumlah yang terus meningkat dan kualitas nutrisi yang baik. Namun realita yang terjadi, produksi pangan berfluktuasi dan sering menurun. 

“Data Badan Pusat Statistik (2015) menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2014 turun menjadi 70,8 juta ton gabah kering giling dari 71,3 juta ton pada tahun 2013. Salah satu penyebabnya adalah luas lahan pertanian semakin terbatas yang ditunjukkan oleh luas panen padi dan palawija yang semakin menurun,” kata Murni. 

“Hal ini diduga karena upaya perluasan areal pertanian sulit dilakukan sementara konversi lahan pangan produktif untuk penggunaan lain seperti perumahan, gedung perkantoran, dan lain-lain terus terjadi,” kata Murni menambahkan. 

Selain itu, ketersediaan sumberdaya air untuk mendukung produksi pangan semakin berkurang. Hal ini akibat dari kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), persaingan penggunaan air untuk kebutuhan sektor lain dan rusaknya jaringan irigasi. 

“Untuk mencapai target pengalokasian dan pemanfaatan lahan hutan tersebut dengan optimal, perlu didukung dengan teknologi peningkatan produktivitas berupa penerapan teknologi agroforestri komplek-permanen berbasis pangan,” kata Murniati. 

Sejauh ini, menurut Murni, penerapan agroforestri dalam pembuatan hutan tanaman, rehabilitasi kawasan hutan yang rusak, program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) umumnya berlangsung dalam periode yang relatif pendek, dua sampai tiga tahun pertama penanaman pohon hutan. 

“Sistem yang digunakan adalah agroforestri sederhana (tumpangsari), dengan menanam jenis tanaman semusim (umumnya palawija) diantara larikan tanaman hutan. Setelah tajuk tanaman pokok saling menutup, maka penanaman tanaman semusim diberhentikan dengan alasan produksi tanaman bawah sudah tidak optimal,” kata Murni. 

Untuk itu, seyogianya aplikasi agroforestri di dalam kawasan hutan dilaksanakan selama daur tanaman hutan dengan memperbanyak komponen biotik penghasil pangan sehingga terbentuk agroforesti komplek dan permanen berbasis pangan. 

Agar teknologi agroforestri selama daur dapat diterapkan dengan optimal, maka jarak tanam tanaman pokok harus lebih lebar misalnya 6 x 2 m atau 6 x 4 m. Hal ini untuk memberi ruang tumbuh yang cukup sehingga pohon penghasil pangan juga dapat ditanam. 

“Dapat pula disediakan larikan khusus untuk menanam tanaman pohon penghasil pangan tersebut, misalnya dengan perbandingan 2:1 yaitu dua baris tanaman hutan dan satu baris tanamann pohon penghasil pangan,” kata Murniati. 

Berdasarkan pengalamannya di lapangan, seiring dengan meningkatnya naungan dari tanaman pokok dan atau tanaman pohon penghasil pangan, maka jenis tanaman bawah harus diganti dengan jenis-jenis tanaman pangan tahan naungan (shade tolerant species). 

“Beberapa jenis tanaman bawah penghasil karbohidrat dan protein yang tahan naungan adalah umbi porang (Amorphopallus onchophillus Prain), ubi jalar (Ipomoea batatas L.), beberapa varietas padi gogo dan beberapa varietas kedelai,” jelas Murni. 

Menurut Murniati, tersedianya beberapa varietas tanaman pangan semusim yang tahan naungan dengan berbagai intensitas akan membuka lebar kesempatan pemanfaatan lahan di bawah tegakan untuk peningkatan produksi pangan. Masalahnya, ketersediaan benih di tingkat petani khususnya petani hutan, nampaknya masih memerlukan dukungan dan fasilitasi dari pemerintah. 

“Agar konsep agroforestri komplek - permanen berbasis pangan dapat diaplikasikan pada pengelolaan hutan pola HKm, HD dan HTR yang berlokasi di dalam kawasan hutan negara, baik hutan produksi (untuk HKm, HD dan HTR) maupun hutan lindung (untuk HKm dan HD), maka regulasi yang ada harus disempurnakan,” jelas Murniati. 

Penyempurnaan yang diperlukan terutama tentang jenis pohon serbaguna atau pohon penghasil buah atau getah dengan menambahkan “jenis pohon penghasil pangan”. Untuk tanaman bawah harus secara spesifik disebutkan “dapat menanam tanaman pangan” dengan menyesuaikan jenis tanaman dengan kondisi naungan pohon atau intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan.***

Penulis : Tim Website BPTA Ciamis