Dientry oleh Rizda - 22 August, 2017 - 4733 klik
Gerakan 1.000 Desa Bambu untuk Lingkungan dan Kesejahteraan

P3SEKPI (Bogor, 21/08/2017)_Indonesia memiliki 1 juta hektar lebih tanaman bambu, namun, hanya 25.000 hektar yang telah dikelola dalam bentuk hutan/kebun bambu, sementara sisanya ditanam secara sporadis. Bekerja sama dengan Yayasan Bambu Lestari, The International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Badan Litbang dan Inovasi - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi penanaman dan perluasan hutan bambu melalui Gerakan 1.000 Desa Bambu.

Gerakan ini memiliki lima fokus kerja, yaitu legalitas, mendorong adanya akses ke kawasan hutan negara dan lahan milik, mengelola lebih dari dan setara dengan 50 hektar hutan dan kebun bambu, memunculkan budaya bambu yang kreatif, dan mengintegrasikan kearifan lokal bambu.

Gerakan 1.000 desa bambu dibangun dengan pengelolaan rumpun yang berkelanjutan di 1.000 desa, yaitu 200 desa di Sumatera, 200 desa di Jawa, 75 desa di Bali, 75 desa di NTB, 75 desa di NTT, 125 desa di Kalimantan, 125 desa di Sulawesi, dan 125 desa di Papua.

Konsep gerakan 1.000 desa bambu yaitu setiap desa menanam sedikitnya 70.000 bibit bambu atau setara dengan 2.000 hektar (35 rumpun/hektar). Setiap rumpun akan menghasilkan 6 lonjor/tahun setelah tahun ke-10 (≥ 36 batang/rumpun), menjadi 10 lonjor/tahun setelah tahun ke-15 (≥ 56 batang/rumpun). Sebuah jumlah yang sangat besar.

Ke depan, dari gerakan 1.000 desa bambu dapat dikembangkan program-program pendukung, seperti program di bidang edukasi dengan membuat sekolah lapangan bambu yang akan mengajarkan penanaman dan pengelolaan bambu; bidang ekonomi dengan membangun hutan bambu lestari sebagai sumber produk bambu.

Diinformasikan, bambu merupakan komoditas yang cukup tangguh untuk menghadapi emisi. Hutan bambu mampu menyerap 50 ton karbon dioksida per hektar per tahun. Selain itu rumpun bambu merupakan penampung air yang cukup handal untuk menjaga kelestarian ekosistem. Kenyataannya, potensi bambu yang begitu besar tidak paralel dengan pengembangannya.

Sebagaimana diketahui, 85% emisi gas rumah kaca (GRK) disebabkan oleh aktivitas pemanfaatan lahan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut. Tingginya emisi tersebut menyebabkan berbagai dampak negatif yang bercabang. Karbon dioksida tetap di atmosfir selama 200 tahun, sehingga emisi yang dikeluarkan sekarang akan terus menghangatkan iklim di masa depan.

Hal tersebut menyebabkan penyusutan pasokan air dan peningkatan cuaca ekstrim. Dampak dari situasi tersebut adalah semakin tingginya potensi kebakaran hutan, terganggunya kestabilan ekologi, dan terganggunya pembangunan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Emisi bagaikan bom curah yang menyebabkan kekacauan sistemik.***

Sumber:

Rabik, A. (2017). 1000 bamboo villages. Lokakarya Pemanfaatan Bambu Berkelanjutan Berbasis Industri Rakyat. Bali, 20 Juli 2017

Penulis : Tim website