Dientry oleh Rizda - 09 November, 2017 - 2750 klik
Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dengan Pola Kemitraan di Kawasan Hutan Mangrove Delta Mahakam

Samarinda (B2P2EHD, 09/11/2017)_Dinas Kehutanan bersama UPTD KPHP DAS Belayan dan Delta Mahakam melaksanakan (FGD) dalam rangka pembinaan kelembagaan kemitraan dengan masyarakat Desa Sepatin dengan topik pemantapan teknis pengelolaan demplot tambak silvofishery. FGD tersebut dilaksanakan di lokasi tambak yang dikembangkan di Desa Sepatin, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Rabu (11/10).

Dalam FGD ini, Tien Wahyuni, peneliti B2P2EHD menjadi narasumber dengan materi berjudul Menuju Alternatif Desai Silvofishery Berbasis Kemitraan KPHP dan Masyarakat. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program yang telah dilaksanakan tahun 2016 berupa Sosialisasi Kemitraan Kehutanan di KPHP Delta Mahakam.

Silvofishery atau Wanamina adalah suatu Pola Agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove, suatu model pengelolaan yang mensinergikan antara aspek ekologi dan aspek ekonomi dan Silvo atau budidaya  hutan sebagai upaya pelestarian mewakili aspek ekologi, sedangkan fishery adalah kegiatan perikanan sebagai upaya pemanfaatan mewakili aspek ekonomi.

Menurut Erwansah, Penyuluh Perikanan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara, Silvofishery adalah pemanfaatan ekosistem hutan bakau mangrove untuk kegiatan budidaya perikanan tanpa mengganggu kelestarian dan fungsinya (Permen KP-RI No. 28 tahun 2004). Adapun tahapan pengelolaan Demplot Tambak Silvofisher melalui Tahap Persiapan, Tahap Penebaran Benur, Tahap Pemeliharaan dan Tahap Panen dan Pasca Panen.

Adapun fungsi Mangrove itu sendiri terhadap Budidaya Udang di Tambak adalah menjaga stabilitas suhu dan pH air; sebagai shelter; sebagai biofilter; sebagai sumber pakan; dan sebagai sumber unsur hara. 

Kondisi perilaku masyarakat tambak yang ada dalam Kawasan Delta Mahakam adalah sebagai berikut: meskipun masyarakat telah mendapat pelatihan tentang tambak ramah lingkungan. Namun karena keterbatasan tenaga dan biaya tidak mampu melakukan perubahan pengelolaannya secara maksimal. Masyarakat hanya berharap dengan harga udang yang tinggi, bukan pada jumlah produksi panen, biaya pemeliharaan tambak yang tinggi tidak seimbang dengan hasil panennya dan menggunakan bahan-bahan kimia untuk meracun makhluk air lain yang dianggap predator atau pesaing udang, misalnya saponin dan akodan.

Dengan melihat gambaran umum dan kondisi aktual yang ada maka perlu dilakukan Forum Group Discussion   dengan Pola Kemitraan, KPHP dan Masyarakat dengan Prinsip-prinsip sebagai berikut: ada proses pemahaman dan proses belajar bersama antara pihak-pihak yang bermitra; Mengidentifikasi dan mempertimbangkan pola-pola tambak ramah lingkungan yang sudah dikembangkan oleh masyarakat dan kearifan tradisionalnya; Disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan masyarakat; Diperlukan pendampingan yang maksimal; dan Kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan kelompok nelayan budidaya tambak.***HRA

Penulis : HRA