Dientry oleh Rizda Hutagalung - 31 July, 2018 - 2585 klik
Bio-Base Economy, Peluang Pemanfaatan Kekayaan Alam Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0

B2P2BPTH (Yogyakarta, Juli 2018)_Bio-base economy merupakan peluang pemanfaatan kekayaan alam Indonesia di era revolusi industri 4.0 atau era industri cerdas berbasis teknologi seperti saat ini. Hal ini dikemukakan para narasumber Seminar Nasional Biotropika 2018 di Auditorium Fakultas Biologi UGM, Sabtu (28/7/2018) lalu.

Bio-based economy adalah paradigma yang menggunakan konsep ekologi dalam perekonomian. Lingkupnya meliputi produksi komoditas dengan bahan baku alam, hemat energi, dan memanfaatkan limbah menjadi produk bernilai tambah,” kata Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc. Dekan Fakultas Biologi UGM saat membuka acara tersebut.

Terkait itu, menurut Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat, Guru Besar IPB, paradigma ini telah berkembang menjadi strategi pembangunan ekonomi alternatif dan sudah diaplikasikan oleh 40 negara.

“Indonesia sebagai negara mega bio-diversities semestinya mampu mengembangkan paradigma baru ini dalam sistem pembangunan dengan memanfaatkan kekayaan alam, baik flora maupun fauna yang bernilai ekonomi tinggi,” kata Yusman saat plenary session. 

Keynote speaker lainnya, Dr. Eko Agus Suyono, M.App.Sc berpendapat pada era revolusi industri 4.0, riset dan sumber daya manusia yang inovatif memegang peranan penting agar mampu mendisrupsi pasar, termasuk inovasi berbasis bio seperti flora, fauna, dan mikroorganisme yang ada di hutan tropis Indonesia.

“Indonesia dengan 70% wilayah perairan, mikroalga sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam industri pangan, pakan, energi, farmasi, dan biomaterial,” kata dosen Fakultas Biologi UGM ini.

Mewakili Menteri Perindustrian, Bambang Riznanto, S.T.,M.T.  menyampaikan bahwa di era Revolusi Industri 4.0., Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Roadmap yang disebut Making Indonesia 4.0.

“Presiden Jokowi berharap sektor Industri era ini dapat penciptaan lapangan kerja dan investasi baru yang berbasis teknologi lebih banyak,” kata Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri pada Puslitbang Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual.

Narasumber lainnya dari pihak swasta, Dr. Harry Murti dari PT. Kalbe Farma, menyampaikan salah satu tantangan dalam penerapan bio-based economy adalah tuntutan untuk memenuhi standard baku industri biopharmaceutical.

Diperlukan penelitian dan inovasi yang mendukung hilirisasi dan komersialisasi produk yang berbasis bio-based economy. Selain itu, sinergi antara Pemerintah, akademisi, dan industri diperlukan agar dapat menstimulasi pemanfaatan keaneragaman hayati dengan bijak dan berkelanjutan,” kata Harry.

Sebagai informasi, Seminar Nasional Biologi Tropika 2018 ini bertema “Pemanfaatan Biodiversitas Tropika untuk Mewujudkan Bio-Based Economy. Empat Keynote speaker ditampilkan pada plenary session, dua dari Perguruan Tingggi, satu wakil pemerintah, dan satu dari perusahaan. Seminar ini dihadir berbagai kalangan seperti mahasiswa, akademisi dan peneliti dari Perguruan Tinggi dan lembaga Litbang.

Lukman Hakim, S.Hut,MP, peneliti Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta turut berpartisipasi dalam sesi makalah pada seminar tersebut. Pada kesempatan tersebut, Lukman menyampaikan makalahnya berjudul “Potensi Jenis-Jenis Shorea Penghasil Tengkawang”.

Menurut Lukman, Dipterocarpaceae merupakan suku terpenting flora hutan tropis Indonesia, dimana marga Shorea spp yang dominan. Terdapat 13 jenis Shorea penghasil tengkawang yang tersebar di hutan alam tropis Kalimantan dan Sumatera.

Buah tengkawang merupakan maskot Kalimantan Barat, jenis asli dan primadona komoditas eksport ke Malaysia sebagai bahan baku industri kosmetik, obat-obatan, subtitusi lemak coklat, lemak nabati, bahan pembuatan lilin, sabun, margarin, minyak pelumas. Masyarakat suku Dayak menyebutnya sebagai pohon kehidupan,” kata peneliti Konservasi Sumberdaya Genetik ini.

Menurut Lukman, nilai ekonomi tengkawang yang tinggi dan nilai ekologinya sebagai jenis endemik merupakan potensi yang perlu dikembangkan dalam program rehabilitasi kawasan hutan dan lahan. Sedangkan peningkatan penguasaan teknik budidaya dan pengolahan pasca panen pada petani tengkawang menjadi tantangan dalam pengembangannya. Beberapa kegiatan rehabilitasi tersebut antara lain Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan maupun Hutan Tanaman Industri dengan benih hasil pemuliaan.

“Pada era industri 4.0. dan era digital ini, para petani tengkawang dengan pendampingan oleh pemerintah diharapkan dapat mendistrub pasar atau langsung menjual hasilnya kepada industri tanpa melewati tengkulak. Dengan demikian, harga bisa bersaing dengan produk kelapa sawit dan karet yang merupakan produk saingannya,” kata Lukman.

Salah satu rekomendasinya, Lukman berharap agar Pemerintah mengeluarkan aturan dalam pembangunan HTI menggunakan tanaman pokok dari suku Dipterocarpaceae, khususnya jenis penghasil tengkawang (70%). Selain itu, membangun pabrik olahan produk turunan buah tengkawang sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai komoditas eksport.***

Penulis : Lukman Hakim