Dientry oleh Rizda Hutagalung - 27 August, 2018 - 1082 klik
Agroforestry di HKm Sesaot Terbukti Mampu Tingkatkan Ekonomi, Ekologi dan Sosial Masyarakat

BP2THHBK (Lombok, Agustus 2018)_Komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sesaot, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat mampu meningkatkan ekonomi, ekologi dan sosial masyarakat. Ini diungkapkan Dr. Ryke Nandini, peneliti Balai Litbang Teknologi HHBK (BP2THHBK) Mataram dalam publikasi ilmiahnya di  Jurnal Penelitian Kehutanan Faloak Volume 2 No 1 April 2018.

“Usaha tani agroforestry dengan komoditi HHBK seperti kemiri (Aleuritesmollucana (L) Willd), kopi (Coffea sp.) dan coklat  (Theobroma cacao) memberikan keuntungan pada pendapatan petani HKm di Sesaot,” kata Ryke dalam artikelnya.

Dalam pembahasannya, Ryke menjelaskan bahwa tanaman kemiri dan kopi memberikan keuntungan ekonomi pada semua strata lahan, sedangkan coklat dan pisang hanya memberikan keuntungan ekonomi pada strata II.

“Tanaman coklat pada strata II memberikan keuntungan 40,63%, sedangkan tanaman pisang hanya memberikan keuntungan 7% sehingga sebaiknya pisang tidak ditanam pada lokasi HKm agar petani di Sesaot dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar dari tanaman selain pisang,” jelasnya.

Lebih lanjut Ryke menjelaskan, praktek usaha agroforestry ini secara resmi telah berjalan sekitar 9 tahun sejak dikeluarkannya Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) pada tahun 2009 oleh pemerintah setempat. Keberlanjutan usaha tani ini menegaskan bahwa komoditas HHBK seperti kemiri, kopi dan coklat yang dikembangkan di HKm Sesaot dapat dikelola secara lestari.

“Kondisi ini dapat dipahami karena komoditas HHBK tersebut produk utamanya adalah buah. Petani perlu untuk merawat tanamannya agar hasilnya terus melimpah sehingga secara ekologi, pengembangan komoditas HHBK dalam Perhutanan sosial akan menjaga kelestarian ekologi lingkungan,” jelas Ryke.

Sebagai informasi, pengelolaan HKm Sesaot dilakukan secara tradisional, pengolahan tanah dilakukan seminimal mungkin. Pemupukan pun dilakukan secara alami yaitu mengandalkan kompos dari pelapukan serasah dedaunan. Begitu juga dengan pemberantasan hama penyakit tanaman, relatif tidak dilakukan karena dengan keberagaman flora dan fauna yang ada, sangat memungkinkan terdapat musuh alami dari hama penyakit tersebut.

Dengan demikian, serangan hama penyakit masih dalam batas normal dan tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi. Model pengelolaan seperti itu selaras dengan prinsip-prinsip ekologi yang dapat menciptakan iklim mikro yang menjaga stabilitas kehidupan keanekaragaman hayati.

Dilihat dari sisi sosial, praktik pengelolaan HKm dengan pola agroforestry juga mengandung aspek hubungan sosial. Hal itu tercermin pada hubungan kerja atau distribusi bagi hasil antara pengelola HKm dengan buruh tani. Secara budaya, praktik ini selaras dengan kebiasaan masyarakat lokal  yaitu bertani atau berkebun.

Sebagaimana diketahui, keberpihakan pemerintah terhadap pengelolaan hutan lestari dengan melibatkan masyarakat dapat terlihat dari beberapa program perhutanan sosial yaitu Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Kemitraan Kehutanan, Mitra Konservasi dan yang lainnya. Semua itu merupakan kesempatan yang diberikan pemerintah untuk masyarakat sekitar hutan agar dapat mengakses dan mengelola hutan secara lestari dengan legal. Harapannya dapat meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Pada praktiknya banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program-program tersebut, baik teknis maupun non teknis. Salah satu yang dapat memberikan gambaran keberhasilan program tersebut adalah Hutan Kemasyarakatan (Hkm) yang dikembangkan oleh masyarakat di Sesaot Lombok Barat ini.***

 

Informasi selengkapnya dapat dilihat pada link berikut:

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPKF/article/view/4336

Penulis : Tim website