Dientry oleh Master Administrator - 02 January, 2019 - 1101 klik
Catatan dari Katowice: Membumikan Isu Perubahan Iklim

Perubahan iklim dianggap sebagai persoalan ‘langit’ bagi banyak orang saat ini. Tak ada salahnya jika hal itu dikaitkan dengan volume gas rumah kaca yang terperangkap di lapisan-lapisan langit alias atmosfer yang akhirnya meningkatkan suhu bumi.

Namun banyak juga yang melihat perubahan iklim sebagai sebuah persoalan ‘langit’ yang masih mengawang-awang. Tidak jelas dan tidak kongkret. Apalagi isu perubahan iklim selalu dikelilingi banyak istilah yang sulit dicerna orang awam. Masih banyak yang belum mengerti tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) dan konsensus pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Kebingungan akan semakin menjadi-jadi jika menelusuri istilah-istilah turunannya. COP, NDC, BAU, CMA, MPG, APA, SBI, atau SBSTA (lihat catatan) jelas bukan istilah yang familiar di telinga masyarakat awam.

Ini diakibatkan banyak istilah berbahasa Inggris yang sulit dipadankan dengan bahasa Indonesia. Sudah begitu, sebagian pemilik otoritas dalam pengendalian perubahan iklim kerap lupa bahwa publik tak memiliki level pemahaman yang sama. Mereka asyik menggunakan istilah-istilah itu saat berkomunikasi yang membuat publik semakin bingung dan akhirnya menganggap perubahan iklim sebagai persoalan ‘langit’ yang hanya diurus dan dipahami segelintir elit.

Jika situasi itu terbentuk tentu sungguh disayangkan. Sebab sejatinya perubahan iklim adalah persoalan yang sangat kongkret. Fenomena alam yang terjadi belakangan ini memberikan bukti nyata. Salah satu bukti adalah menyusutnya lapisan es di Puncak Jayawijaya, Papua. Hasil obersevasi yang dirilis BMKG (2017) bahkan memprediksi, lapisan es tersebut akan hilang pada tahun 2020.

Bukti lain adalah pergeseran musim penghujan dan kemarau yang membuat pola tanam pertanian menjadi kacau. Meningkatnya bencana terkait iklim seperti badai, banjir atau kekeringan juga tak bisa diabaikan.

Dampaknya jelas negatif. Perubahan pola tanam pertanian bisa menggangu ketahanan pangan. Sementara bencana iklim jelas berdampak langsung pada kerugian harta dan jiwa. Perubahan iklim juga bisa meningkatkan vektor penyebab penyakit mematikan seperti nyamuk malaria. Mencairnya lapisan es abadi di Puncak Jayawijaya dan gunung-gunung es di kutub bisa menaikan tinggi muka air laut yang mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Oleh karena itu, aksi kongkret yang bisa dipahami dan dilaksanakan publik untuk menjawab persoalan kongkret perubahan iklim diperlukan. Diadopsinya Katowice Climate Package, pada konferensi perubahan iklim ke 24 yang berlangsung di Katowice, Polandia, 2-15 Desember 2018 menjadi saat yang tepat untuk meningkatkan aksi-aksi kongkret pengendalian perubahan iklim yang melibatkan publik.

Penulis:

Eka Widodo Soegiri
Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Analisis Strategis, Akuntabilitas Politik, dan Publikasi

Selengkapnya di sini

Penulis : Eka Widodo Soegiri