Dientry oleh Risda Hutagalung - 31 January, 2020 - 721 klik
Peneliti Sarankan Perhutanan Sosial di Sumsel Mengadaptasi Konsep Lokal Kebun-Ghepang

BP2LHK Palembang (Palembang, Januari 2020) _Peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang menyarankan, dalam implementasinya Perhutanan Sosial (PS) di Sumatera Selatan perlu mengadaptasi konsep lokal Kebun-Ghepang

“Masyarakat lokal di dataran tinggi Sumatera Selatan sesungguhnya telah lama mempraktikkan pengelolaan areal berbentuk hutan, yang mereka sebut sebagai Ghepang. Durian yang saat ini banyak dinikmati oleh masyarakat kota Palembang, sebagian besarnya adalah hasil produksi dari Ghepang, atau kini lebih cocok disebut Kebun-Ghepang,” ujar Edwin Martin, Peneliti BP2LHK Palembang saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (15/1/2020). 

Dijelaskan Edwin, Ghepang atau kebun durian dan beragam buah-buahan lokal lainnya membentuk formasi serupa hutan, sebuah agroforest klimak. Oleh karena itu, menurutnya PS sangat disarankan untuk mengadaptasi konsep lokal ini sebagai acuan implementasinya. “Areal kerja PS sangat berpotensi untuk diubah menjadi Kebun-Ghepang,” tambahnya. 

Ketika ditanya, apakah semudah itu menjadikan PS sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dikelola masyarakat? Menurutnya, tantangan berikutnya adalah bagaimana memposisikan kebun-ghepang menjadi representasi agroforestry kekinian. 

Seperti diketahui, PS saat ini menjadi salah satu program utama dari kebijakan kehutanan Indonesia. Laporan perkembangan luas izin PS per Januari 2020 di Sumatera Selatan menunjukkan angka mencapai 101.993,80 Ha, sementara areal yang masih menunggu proses seluas 36.945,50 Ha. Khusus di daerah dataran tinggi dengan kawasan hutan fungsi lindung, terdapat 14 unit Hutan Desa dan 36 unit Hutan Kemasyarakatan. Kemudian timbul pertanyaan apakah areal kerja PS tersebut sejatinya berbentuk hutan? 

“Sebagian besar areal kerja PS di dataran tinggi Sumatera Selatan merupakan hamparan perkebunan kopi masyarakat, jadi formasi PS saat ini adalah tanaman kopi yang cenderung ditanam monokultur,” jawab Edwin. 

Edwin menegaskan bahwa areal tersebut sesungguhnya telah beberapa kali diupayakan untuk direhabilitasi, melalui berbagai program pemerintah. Namun, kenyataannya hingga kini masih berbentuk kebun kopi. Lalu apakah mungkin areal kerja berupa perkebunan kopi dapat berubah menjadi hutan kembali dan dikelola secara lestari, melalui program PS? Secara tegas peneliti yang aktif mempelajari dan melakukan penelitian aspek sosial hutan dan kehutanan ini menjawab bisa dan tentu saja mungkin. 

Terkait itu, Kepala Balai Litbang LHK Palembang Ir. Tabroni, MM. di tempat terpisah mengatakan bahwa BP2LHK Palembang akan mengambil peran dalam mewujudkan PS yang mampu melestarikan hutan dan menyejahterakan masyarakat secara riil. “Program penelitian terkait perhutanan sosial yang akan dilakukan Litbang adalah untuk menjawab persoalan percepatan implementasi PS,” ujar Tabroni. 

Tabroni menambahkan, peneliti BP2LHK Palembang telah memahami konsep dasarnya sehingga sekaranglah saatnya untuk mewujudkan model hutan pangan yang hidup dan menghidupi masyarakat. 

“Untuk mewujudkannya tentunya dibutuhkan dukungan para pihak, terutama unit kerja lain dalam internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerintah daerah,” pungkasnya.***

Penulis : Tim website