Dientry oleh BP2LHK Palembang - 01 December, 2020 - 739 klik
Mengurai Problematika Pola Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Basah

" Mengangkat tema “Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah”, OPL seri 5 mengajak para sahabat OPL untuk melihat berbagai fenomena pemanfaatan SDA yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat di lahan basah. Para narasumber menyebutkan, masih banyak masyarakat yang tidak arif dalam memanfaatkan SDA "

[FORDA] _Pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk melestarikan sumber daya alam (SDA), sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang, tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang. Namun kurangnya pemahaman masyarakat tentang ini, membuat banyak pengelolaan SDA dilakukan dengan kurang bijaksana. Hal ini diungkapkan para narasumber Obrolan Pelepas Lelah (OPL) Seri 5, webinar berseri Balai Litbang LHK Palembang, Selasa (17/11/2020) lalu.

Mengangkat tema “Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah”, OPL seri 5 mengajak para sahabat OPL untuk melihat berbagai fenomena pemanfaatan SDA yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat di lahan basah. Para narasumber menyebutkan, masih banyak masyarakat yang tidak arif dalam memanfaatkan SDA. Menurut mereka, banyak masyarakat yang hanya menggunakan rasionalitas individu, mengambil keuntungan maksimum pribadi tanpa menghiraukan keberlanjutan SDA.

Seperti yang digambarkan peneliti Balai Litbang LHK Palembang, Mamat Rahmat mengenai aktivitas pemburu madu di hutan mangrove Rimba Sembilang. Berburu madu telah menjadi mata pencaharian utama sebagian penduduk Desa Mekar Sari, Lalan. Aktivitas berburu ini mereka lakukan setiap hari.

Pemanenan pohon sialang yang sudah diakui kepemilikannya oleh kelompok tertentu, dilakukan secara rutin dua atau tiga bulan sekali, dan dilakukan dengan pemanenan yang ramah (tanpa menggunakan asap).

Namun ada juga sekelompok masyarakat yang belum/tidak mengikuti aturan pengelolaan yang ditaati bersama. Menurut Mamat, pola eksploitasi madu yang ini hanya berpedoman pada motif keuntungan individualistis, siapa cepat dia dapat ini. Tanpa disadari dapat menimbulkan kerugian pada pemburu madu itu sendiri.  

“Karena pemanenan yang dipaksa ini akan berpengaruh pada kualitas madunya. Kadang diperoleh madu berkualitas bagus, namun tak jarang madu yang masih muda, atau kadar airnya masih tinggi. Lama-lama konsumen tidak akan percaya lagi pada produk madu yang mereka jual,” ujar peneliti bidang Ekonomi Kehutanan dan Kebijakan Kehutanan ini.

Selain itu, pola berburu madu pada kelompok ini juga masih menggunakan asap yang dapat mengakibatkan koloni lebah berpindah. Jika kondisi ini dibiarkan saja, perlahan-lahan akan memutus keberlangsungan mata pencaharian mereka sebagai pemburu madu.

“Bagaimana mencapai kesepakatan norma dengan para pemburu madu ini, perlu segera diwujudkan. Jaminan atas kelestarian penghidupan mereka akan dapat membantu mengamankan hutan, karena yang mereka ambil adalah hasil hutan non kayu,” harap Mamat.

“Bagi mereka keberadaan hutan mangrove adalah tulang punggung kehidupannya. Karena di situlah lebah bersarang. Kalau mereka tidak menjaga mangrove maka lebah juga akan lari, migrasi. Terjaganya hutan mangrove tentu bukan hanya untuk madu, tetapi juga menjaga kelestarian habitat satwa liar yang terdapat di Rimba Sembilang, antara lain Harimau Sumatra,” tambah Mamat kepada 228 sahabat OPL melalui aplikasi Zoom.

Pemanfaatan air di lahan gambut dan pelibatan masyarakat dibahas oleh Bondan Winarno pada kesempatan ini. Bondan mengatakan semua orang mengetahui pentingnya air bagi kehidupan manusia. Air merupakan komponen dalam keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan penghidupan masyarakat di lahan gambut.

“Kepedulian masyarakat terhadap sumberdaya air di lahan gambut menempatkan masyarakat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan melalui upaya pembasahan kembali ekosistem gambut yang juga mendukung berkembangnya komoditas prospektif ramah gambut,” kata Bondan, peneliti Sosiologi Lingkungan.

Terkait itu, Bondan menyarankan agar pemerintah dapat mendorong upaya pemberdayaan masyarakat yang pro aktif dalam memonitor dan mengelola lahan gambut, yaitu dengan membentuk Regu Peduli Air, disamping Masyarakat Peduli Api yang telah berkembang sebelumnya.

Peneliti Silvikultur  BP2LHK Palembang, Hengki Siahaan membahas pola pemanfaatan SDA ini dan mengaitkannya dengan sistem pangkas kayu pelawan. Menurutnya sistem pangkas ini bisa menjadi salah satu cara yang efektif dan berkelanjutan dalam mengasilkan kayu pelawan sebagai kayu energi, terutama sebagai penghasil arang pelawan.

“Dengan sistem ini, kayu pelawan dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan rotasi pendek, yaitu berdiameter kecil (8-10 cm) dan dalam 2-3 tahun saja,” kata Hengki.

OPL seri ke 5 ini juga mengundang dua narasumber dari luar. Salah satunya adalah Dosen Prodi KSDA Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Fifin Fitriana, yang mengulas keberlanjutan kehidupan satwa liar tarsius belitung (Cephalopachus bancanus satator) di Pulau Belitung.

Hewan ini merupakan salah satu dari empat sub spesies Cephalopachus bancanus yang endemik di Pulau Belitung dengan status konservasi IUCN sebagai Endangered Species. Saat ini habitat tarsius belitung hanya di Pulau Belitung yang seluas 4800 km2 dengan tekanan fragmentasi dan hilangnya habitat yang tinggi akibat pertambangan timah dan perkebunan sawit.

“Pemerintah daerah dan sebagian kecil masyarakat Belitung telah sadar akan pentingnya keberadaan tarsius, salah satunya ditandai dengan dijadikannya tarsius sebagai satwa identitas. Namun pemerintah daerah dan masyarakat masih belum tahu bagaimana cara konservasinya agar tarsius agar dapat lestari di alam,” ujar Fifin.

Melalui OPL ini Fifin mengharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan konservasi tarsius baik secara insitu maupun eksitu. Fifin juga mengharapkan munculnya inisiatif untuk membuat program penyuluhan dan pembentukan kelompok tani konservasi sebagai kader-kader konservasi untuk mengelola lahan perkebunan secara bijak seperti penggunaan pestisida yang tidak berlebihan, mengurangi pestisida dosis tinggi dan beralih ke biopestisida agar populasi serangga yang menjadi pakan tarsius tidak terganggu.

Narasumber lainnya yang berbincang mengenai upaya pemanfaatan SDA dan bagaimana prospek keberlanjutannya adalah Dedy Saptaria Rosa, seorang Manajer Perencanaan Lingkungan PT. Bukit Asam, Tbk. Dedy memperkenalkan Taman Koleksi Bukit Asam di areal reklamasi pasca-tambang. Taman ini merupakan perwujudan konsep Good Mining Practices (GMP) yang diemban perusahaan ini.

“Pembangunan taman ini juga ditujukan untuk menghindari terjadinya fenomena ghost town setelah kegiatan operasional penambangan PTBA. Kita juga ingin mewujudkan kota Tanjung Enim sebagai Kota Wisata,” terangnya.

Adapun Taman Koleksi Bukit Asam dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, meliputi: koleksi tumbuhan, pengembangbiakan tumbuhan dan satwa, pendukung penyedia bibit, sumber benih dan bibit, sumber genetik tumbuhan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan ekowisata.***

Penulis : Fitri Agustina
Editor : Risda Hutagalung