Dientry oleh BP2LHK Palembang - 24 December, 2020 - 894 klik
Blusukan Lanskap untuk Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang Lebih Baik

" Blusukan Lanskap adalah sekumpulan metode atau pendekatan yang mendorong interaksi positif antara para pihak, masyarakat lokal, dan lanskap tertentu, agar terjadi proses reflektif-kreatif menuju transformasi kelestarian lanskap. Merupakan aktivitas bertujuan, Blusukan Lanskap bukan hanya alat tetapi sekaligus menjadi sikap dari orang-orang yang menggunakannya "

Oleh: Dr. Edwin Martin

Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

[FORDA] _Persoalan klasik lingkungan hidup dan kehutanan adalah bagaimana menghadirkan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial dari sebuah unit ekosistem (desa, kabupaten, provinsi, pulau, kawasan tertentu, dan lain sebagainya) secara bersamaan. Persoalan dan tantangan fenomena tersebut memerlukan pendekatan, gagasan, dan cara-cara yang lebih efektif untuk menanganinya.

Seperti diketahui, permintaan terhadap pangan, energi, kayu, dan jasa-jasa lingkungan terus meningkat dan berkompetisi. Banjir, tanah longsor, karhutlah, konflik, isu kemiskinan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan adalah gejala dari ketidakseimbangan outcome ekosistem. 

Semangat pembangunan dan modernisasi pasca perang dunia kedua mendorong penguatan peran negara/pemerintah (top—down approach) dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kesadaran, kritik, ilmu pengetahuan dan praktik pemanfaatan sumber daya alam turut berkembang.

Tahun 1980-an, David Korten mengkritik model pembangunan “blue-print”, sebuah cara pembangunan dengan desain dari pemerintah tanpa melibatkan pihak lokal. Korten menganjurkan “people-centre development” sebagai pendekatan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat, keadilan sosial, dan pembuatan keputusan secara partisipatif. Pada tahun 1990-an, Robert Chambers memperkenalkan Participatory Rural Appraisal (PRA), sebagai pendekatan untuk memasukkan pengetahuan dan opini masyarakat desa dalam perencanaan dan pengelolaan program-program pembangunan (bottom-up).

Pada dekade tahun 2000-an, beberapa ilmuwan menyadari bahwa masalah krisis lingkungan, kemiskinan, dan pengelolaan sumber daya alam makin problematis. Pendekatan monodisiplin dan multidisiplin tidak mampu menyelesaikannya. Max-Neef (2005) menegaskan bahwa hanya pendekatan transdisiplin yang sesuai dengan karakter masalah kekinian. Pertanyaannya, metode apakah yang secara operasional dapat mewadahi beragam model pendekatan pembangunan sekaligus: top-down, bottom-up, dan transdisiplin?

Publikasi Garrett Hardin (1968) tentang “The tragedy of the commons”, membuka kesadaran tentang bahaya kelebihan populasi manusia terhadap sumber daya dengan kepemilikan bersama. Tragedi kepemilikan bersama terjadi ketika individu-individu manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama, dengan prinsip keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga merugikan mahluk hidup lain.

Perikanan, margasatwa, air tanah dan permukaan, padang penggembalaan, dan hutan merupakan sumber daya dengan kepemilikan bersama. Dari sisi karakteristik ukuran sumber daya, pengelolaan sumber daya milik bersama memerlukan biaya tinggi.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, isu the commons didekati pemecahannya melalui penerapan tata kelola yang baik (good governance), sebuah cara menegosiasikan, membuat dan menegakkan hasil keputusan bersama para pihak dalam pengelolaan sumber daya.

Inisiatif-inisiatif untuk merekonsiliasi kompetisi tata guna lahan dan untuk mencapai produksi manfaat baik produksi maupun konservasi disebut pendekatan lanskap (Sayer et al. 2013). Situasi kekinian menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan utama bagaimana merestorasi lanskap yang rusak akibat dari klaim-klaim yang yang saling bertentangan (Sayer et al. 2020).

Menjawab perkembangan ilmu pengetahuan dan tantangan tersebut, kami menawarkan konsep “Blusukan Lanskap” (BL). BL dikonseptualisasikan dari pengalaman kami melakukan beragam riset aksi, mengamati praktik-praktik terbaik pengelolaan lanskap yang dilakukan aparat pemerintah, dan mengikuti perkembangan metodologi penelitian sosial.

BL adalah sekumpulan metode atau pendekatan yang mendorong interaksi positif antara para pihak, masyarakat lokal, dan lanskap tertentu, agar terjadi proses reflektif-kreatif menuju transformasi kelestarian lanskap. Karena merupakan aktivitas bertujuan, BL bukan hanya alat tetapi sekaligus menjadi sikap dari orang-orang yang menggunakannya.

Ini tidak terlepas dari makna blusukan itu sendiri, yang berarti memasuki tempat-tempat yang tidak nyaman (bagi orang luar, orang asing, aparat pemerintah, peneliti), ikut merasakan suasana kontekstual, dan selalu mencari kebenaran.

BL setidaknya melingkupi beberapa kegiatan/metode yaitu: (1) Mengamati kehidupan masyarakal lokal (participant observation); (2) Mengamati jalur transek-biofisik flora-fauna; (3) Wawancara mendalam sambil berjalan (walking interview); (4) Melakukan analisis diakronis-sinkronis; (5) Menghasilkan pengetahuan bersama (co-production of knowledge), sehingga menghasilkan aksi-aksi bersama (co-creation of innovation), untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik; serta (6) Menjalin silaturahmi tanpa henti, sebagai ciri khas pendekatan BL.

Sebagai sebuah konsepsi baru yang berasal dari praktik dan terminologi lokal (Jawa-nusantara), Blusukan Lanskap dapat menyempurnakan metodologi yang sudah dikenal yaitu PRA. BL melengkapi kegiatan-kegiatan yang berbasis disiplin ilmu alam, salah satunya eksplorasi. BL bahkan bisa menggantikan istilah dan praktik yang selama ini identik dengan kerja birokrasi, yaitu kunjungan kerja, dinas luar, patroli, jagawana, anjang sana, demplot uji coba, dan wawancara.

Sekali lagi, BL bukan hanya alat tetapi juga pilihan sikap dari para pihak, untuk saling menghargai dan bekerja sama menuju lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih baik. Mari kita Blusukan Lanskap!***

Penulis : Dr. Edwin Martin
Editor : Risda Hutagalung