Dientry oleh BP2TSTH Kuok - 22 December, 2020 - 721 klik
Konservasi Genetik, Budidaya dan Potensi Cemara Sumatera si Tumbuhan Obat

" Pemanfaatan yang lestari perlu dilakukan melalui skema sinergitas antara pemangku kawasan dengan masyarakat pinggir hutan untuk membudidayakanya. Selanjutnya perlu dilakukan pemanenan yang tidak merusak dan berotasi, melakukan pengembangan produk taxus serta pelibatan KTH untuk produksi berskala UMKM "

[FORDA] _Mengangkat tema “Cemara Sumatera: Potensi, Konservasi dan Upaya Pemanfaatan Lestari Guna Mendukung SDGs”, Semarak Riset Alam Melalui Bincang Ilmiah (SERAMBI) Seri 5 digelar Jumat (18/12/2020). Selain tiga peneliti, perwakilan kelompok tani hutan pemerhati tanaman ini juga dihadirkan sebagai narasumber webinar berseri Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) ini.

“Cemara Sumatera yang umum dikenal dengan Taxus ini memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi dan perkawinannya pun dilakukan secara outcrossing. Mengacu pada hal tersebut, secara genetik dapat dilakukan konservasi melalui skema pengayaan secara in-situ dan ex-situ,” papar Prof. Ris. Dr. Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr, yang menyampaikan Strategi Konservasi Genetik Cemara Sumatera.

Kepada 112 peserta dari berbagi kalangan dan dari berbagai daerah di Indonesia, pada sesi ini disampaikan mengenai sebaran cemara Sumatera di Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, potensinya sebagai etnomedicine dan informasi genetiknya.

“Sample analisa genetik yang masuk ke laboratorium kami berasal dari Gunung Tujuh dan Gunung Kerinci, yang mana keduanya memiliki jarak genetik yang sangat dekat (0,047). Ini dapat diartikan kekerabatan yang sangat dekat, yang mana memiliki kemiripan struktur genetik mengacu pada penanda RAPD,” jelas pria yang akrab disapa Anton ini.

Terkait budidayanya, peneliti dari Balai Penelitian LHK Aek Nauli, Dr. Ahmad Dany Sunandar, S.Hut, M.Si memaparkan “Budidaya Taxus: Tanaman Obat dari Dataran Tinggi”. Dany menjelaskan bahwa jenis ini termasuk jenis yang lambat tumbuh, masa dormansi benih yang lama (6-12 bulan) dan ideal tumbuh pada suhu 21 - 23°C. Namun perbanyakan secara vegetatif sementara ini menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan bibitnya. 

“Untuk perbanyakan vegetatif yang kami lakukan melalui stek. Selanjutnya ditanam pada lokasi budidaya dengan kondisi yang paling ideal untuk taxus. Pemilihan lokasi mempertimbangkan porositas dan kesuburannya,” ujar Dany. 

Setelah prinsip konservasi dan teknis budidaya, kepada peserta diperkenalkan konsep “Pemanfaatan Lestari Cemara Sumatera” oleh Eka Novriyanti, S.Hut, M.Si, Ph.D. Narasumber ketiga ini menjelaskan potensi besar tanaman dengan status dilindungi dan terancam punah ini sebagai tanaman obat.

“Tanaman ini mengandung senyawa Paclitaxel (Taxol@BMS) yang ditujukan untuk pengobatan kanker, mencegah penyempitan pembuluh darah, anti inflammatory, analgesic, Alzheimer hingga sclerosis ginjal. Rendemen taxol tertinggi diperoleh dari ekstraksi kulit, baik itu menggunakan pelarut methanol, ethyl acetate maupun n-hexane,” ungkap peneliti BP2TSTH bidang ilmu kayu dan teknologi hasil hutan ini.

Sayangnya menurut Eka, potensi yang luar biasa tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan perbanyakan jenisnya. “Maka dari itu pemanfaatan yang lestari perlu dilakukan melalui skema sinergitas antara pemangku kawasan dengan masyarakat pinggir hutan untuk membudidayakanya. Lebih lanjut dilakukan pemanenan yang tidak merusak dan berotasi, melakukan pengembangan produk taxus serta pelibatan KTH untuk produksi berskala UMKM,” jelasnya.

Di akhir diskusi panel, Refi Agustinur Halim, S.Pi selaku perwakilan KTH Taxus Singgalang menceritakan pengalaman mereka melakukan eksplorasi hingga membudidayakan taxus. “Awalnya kami belum mengetahui secara rinci mengenai potensi maupun teknis membudidayakan tanaman taxus ini. Setahun berjalan dengan bimbingan dari Litbang Kuok (BP2TSTH) dan instansi kehutanan lainnya kami mempunyai bibit taxus mencapai 25.000 bibit,” tutur Refi.

Pria alumnus Universitas Andalas ini mengatakan, berdasarkan pengalaman mereka di KTH Taxus Singgalang, beberapa golongan masyarakat yang meminta daun taxus untuk obat tidak membutuhkan waktu lama untuk sembuh.

“Keluhan mereka beragam, baik itu penyakit dalam maupun akibat kecanduan narkoba. Mereka yang meminta ini, kami catat identitas maupun jenis penyakitnya. Hal ini dikarenakan belum adanya informasi klinis mengenai keampuhan obat dari jenis taxus. Kami mencatatnya sebagai bukti nyata atau testimoni,” tambahnya.

Para peserta mengikuti acara ini dengan antusias. Ketertarikan peserta mengetahui lebih dalam mengenai jenis tanaman ini terlihat dari banyaknya pertanyaan yang masuk di sesi diskusi. Berdurasi selama 2,5 jam dirasa kurang dengan tidak terjawabnya seluruh pertanyaan dari peserta.

Di akhir SERAMBI 5 ini, Priyo Kusumedi, S.Hut, MP selaku Kepala BP2TSTH menyampaikan terima kasih dan apresiasi terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan webinar SERAMBI.

“SERAMBI pertama hingga kelima berjalan dengan lancar, kolaborasi antara peneliti, akademisi, praktisi, pihak swasta hingga pemangku kebijakan lokal daerah turut serta menyampaikan ide mereka. Hal inilah yang menjadi pembeda webinar kami. Pengemasan teknis diseminasi hingga peningkatan jejaring kerja ini hendaknya dipertahankan. Bersama kita bangun kehidupan yang sejalan dengan riset,” tutup Priyo.***

Ingin tahu lebih detail mengenai kegiatan ini silahkan simak rekamannya di kanal YouTube BP2TSTH Kuok pada tautan berikut: http://bit.ly/serambi5onyoutube

Silakan unduh materi kegiatan pada tautan berikut: http://bit.ly/materiserambi5

Penulis : Eko Sutrisno
Editor : Risda Hutagalung