Dientry oleh BP2TSTH Kuok - 13 January, 2021 - 999 klik
Potensi Kayu Alam sebagai Sumber Daya Baru Penghasil Pulp

" Melalui pengembangan jenis-jenis lokal sebagai jenis alternatif penghasil kayu pulp, diharapkan pengelolaan hutan lestari dapat terwujud melalui lestari hasil dan lestari lingkungan "

Oleh Eko Sutrisno

Teknisi Litkayasa – Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

[FORDA] _Indonesia terkenal dengan keragaman hayati serta termasuk salah satu pemilik mega biodiversitas di dunia. Potensi ini mencakup bentangan alam darat dan perairan dari Sabang hingga Merauke. Pulau Sumatera adalah salah satu wilayahnya yang memiliki kekayaan alam yang potensial dari sektor kehutanan. Badan Pusat Statistik (2020) mencatat data tutupan lahan kawasan hutan di Pulau Sumatera adalah seluas 13.547.700 Ha. Terlepas dari kawasan konservasi atau status kawasan lainnya, hal tersebut merupakan anugerah yang harus dimanfaatkan secara lestari.  

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (2017) melaporkan keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ada saat ini mampu memasok industri pulp dan kertas yang ada di Indonesia yang berkapasitas 7,9 dan 12,9 juta ton per tahunnya. Seiring berkembangnya zaman dan kecanggihan teknologi, bahan baku tersebut mampu diolah menjadi viscose-rayon yang merupakan derivate selulosa (Rafael, 2019). Tentunya ini berkorelasi dengan gap kemampuan dan kesinambungan dalam ketersediaan bahan baku kayunya.

Karenanya, upaya pemenuhan kebutuhan industri pulp dan kertas yang belum tercukupi dari jenis-jenis eksotis (Acacia crasicarpa, Acacia mangium, dan Eucalytus pellita), perlu dilakukan. Pembangunan hutan tanaman dari jenis lokal (native species) dipandang potensial sebagai sumber daya baru dan menjadi solusi permasalahan tersebut.

Pemilihan jenis lokal tentunya harus dilengkapi dengan pengetahuan karakteristiknya sebagai bahan baku penghasil serat. Sifat dasar kayu dan teknik silvikultur native species ini juga harus diketahui secara detail agar produktivitasnya tetap terpantau dan terjaga.

Dengan demikian, native species diharapkan bisa bersaing dengan tanaman yang umum dijumpai di areal izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yaitu A.mangium, A.crasicarpa, dan E.pellita. Seperti ketahui, ketiga jenis tersebut merupakan varietas tanaman yang telah dimuliakan dan mempunyai produktivitas yang cukup tinggi dibanding native species yang ada saat ini.

Terkait itu, tim peneliti Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) melakukan eksplorasi dan menganalisis beberapa jenis alternatif penghasil pulp di Provinsi Riau, Sumatera Barat hingga Jambi. Beberapa jenis alternatif tersebut yaitu jabon (Anthocephalus cadamba), binuang (Octomeles sumatrana), geronggang (Cratoxylon arborescens), sesendok (Endospermum diadenum), terentang (Campnosperma coriaceum), mahang kriting (Macaranga pruinosa), mahang putih (Macaranga hypoleuca), sekubung (Macaranga gigantea), setutup (Macaranga tanarius) dan bodi (Macaranga conifer).

Pertimbangan teknis dalam pemilihan kayu lokal jenis potensial sebagai jenis alternatif penghasil serat meliputi rendemen selulosa yang tinggi, komponen lignin dan ekstraktif serendah mungkin, laju pertumbuhan hingga berat jenisnya. Selain itu, ketersediaannya di alam sebagai sumber perbanyakan secara massal nantinya dan kemudahannya dalam perbanyakan secara generatif maupun vegetatif, turut jadi pertimbangan.

Suhartati dkk (2012) dalam bukunya yang berjudul “Sebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di Wilayah Riau” menyampaikan bahwa sebaran jenis lokal potensial tersebut hampir di seluruh wilayah kabupaten-kota di Provinsi Riau. Jenis tersebut pada seluruh areal pengamatan memiliki keseragaman pola penyebaran yaitu berkelompok dan menyebar. Karakteristik tempat tumbuhnya adalah lahan mineral dan gambut.

Hal yang menarik dari temuan ini adalah ketujuh jenis tersebut merupakan komposisi utama pada suksesi sekunder. Kondisinya secara ekologi merupakan jenis yang cepat tumbuh dan banyak bahan perbanyakannya.

Selanjutnya, parameter penting lainnya difokuskan pada karakteristik seratnya. Faktor ini selain fundamental akan berkorelasi terhadap karakteristik pulp dan produk turunan yang dihasilkan setelahnya.

Pembagian jenis kayu sebagai bahan baku pulp juga mempertimbangkan parameter dimensi serat dan turunannya. Parameter ini mencakup panjang serat, diameter serat, tebal dinding serat dan diameter lumen. Parameter turunan yang juga menjadi pertimbangan teknisnya mencakup parameter bilangan runkel, perbandingan muhlsteph, perbandingan fleksibilitas, daya tenun dan koefisien kekakuan.

Dalam perspektif kayu sebagai bahan baku pulp, masing-masing jenis juga mempunyai kriteria penilaian tersendiri. Hal ini mencakup sifat kimia kayu (kadar selulosa, lignin, kadar abu, kandungan zat ekstraktif hingga komponen non-selulosa lainnya), sifat fisis (berat jenis, kadar air, kerapatan dan penyusutan) dan sifat mekanis (keteguhan lentur, keteguhan tarik, keteguhan geser maupun kekerasan).

Aprianis dan Rahmayanti (2009), mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai dimensi serat dan turunannya untuk jenis jabon, binuang, mahang putih, mahang keriting, sekubung, setutup dan bodi yang berasal dari Provinsi Jambi. Disebutkan bahwa serat dengan klasifikasi panjang terdapat pada mahang kriting yaitu 1.607 m dan berdasarkan turunan dimensi seratnya berada pada kelas kualitas serat I dan II.

Rinanda dkk (2012) merincikanan mengenai kayu jabon dan gerunggang. Berdasarkan dimensi serat dan turunannya kedua jenis tersebut termasuk dalam kelas kualitas I untuk bahan baku pulp. Menurut kelas kuatnya, jabon termasuk dalam kelas IV-III, sedangkan gerunggang termasuk dalam kelas kuat III.

Kayu terentang dan mahang berdasarkan karakterisasi dimensi serat beserta turunannya diklasifikasikan pada kelas II sebagai bahan baku pulp. Kayu jabon untuk bahan baku serat merupakan kelas I. Sedangkan untuk sifat fisis mekanis, ketiga jenis kayu ini berada pada kelas kuat III – IV (Novriyanti dkk, 2013).

Rinanda dkk (2014) kembali melaporkan mengenai karakteristik kayu sesendok dan sekubung. Jenis ini digolongkan pada kelas II untuk bahan baku pulp. Namun berdasarkan sifat fisis mekanis, kayu sesendok berada pada kelas III – IV sedangkan kayu sekubung berada pada kelas kuat IV – V.

Frianto dan Rojidin (2014) mempublikasikan terkait morfologi serat dan sifat fisis – kimia kayu sesendok sebagai alternatif bahan baku pulp. Serat sesendok yang memiliki panjang 2.123,75 mm ini berada pada kelas I kualitas serat untuk bahan baku pulp. Kayu ini memiliki kandungan selulosa 52,01%, lignin 32,28%, zat ekstraktif 4,75% dan berat jenis 0,42.

Pengklasifikasian tersebut mengacu pada standard yang ditetapkan oleh International Association of Wood Anatomy (IAWA) dan beberapa literasi lainnya. Penilaian karakteristik tersebut berkaitan erat dengan rendemen, kekuatan rekat pada aplikasi komposit hingga sifat fisik mekanik produk berbasis serat yang akan dihasilkan nantinya.

Melalui pengembangan jenis-jenis lokal sebagai jenis alternatif penghasil kayu pulp, diharapkan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) dapat terwujud melalui lestari hasil dan lestari lingkungan.***

 

Informasi teknis silakan hubungi:

ekokuoksutrisno@gmail.com

 

Penulis : Eko Sutrisno
Editor : Risda Hutagalung