Dientry oleh admin - 02 May, 2024 - 15532 klik
Peranan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Penelitian Kehutanan

sig
FORDA (Bogor, 15 Juni 2012)_Keberadaan hutan senantiasa berhubungan dengan dimensi spasial/keruangan, sehingga untuk menjaga dan meningkatkan daya guna hutan dibutuhkan dukungan IPTEK kehutanan yang berbasis data spasial. Oleh karena itu, penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam kegiatan penelitian kehutanan sangat penting karena mampu merekam, menyimpan, memproses serta menampilkan data spasial. Demikian dipaparkan oleh Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc, Peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) pada acara Pembahasan Rencana Kerja Laboratorium SIG Badan Litbang kehutanan di Bogor, belum lama ini.

Banyak aspek kehutanan yang berkaitan dengan dimensi spasial. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah hidrorologi, konservasi tanah, karakteristik ekosistem, karakteristik biodiversitydalam berbagai ekosistem, dan sebagainya. “Degradasi hutan, lahan kritis, potensi longsor dan banjir, pemanasan global, konflik di kawasan hutan, adalah beberapa isu kehutanan yang berkaitan dengan dimensi spasial dan membutuhkan penyelesaian berdimensi spasial,” papar Pratiwi lebih lanjut.

“Ketersediaan data spasial yang lengkap dan akurat sangat membantu dalam kegiatan penelitian,” kata Hendra Gunawan, peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser).

Umumnya, kegiatan penelitian kehutanan, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, laporan serta pengambilan keputusan. Setiap tahap tersebut memerlukan data yang handal sehingga sesuai dengan tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Penggunaan SIG atau data spasial membantu dalam setiap tahapan kegiatan tersebut.

Dengan teknologi SIG, data spasial tersebut dapat dikelola dengan baik dalam basis data sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis data serta penyampaian informasi ke pengguna. “Peranan SIG di sektor kehutanan menjadi sangat penting karena SIG dapat memperkuat dan melengkapi data numerik, menggambarkan secara visual keadaan di lapangan dengan lebih baik serta memudahkan presentasi kepada pengambil keputusan,“ papar Eko Hartoyo, staf Tropenbos Indonesia.

Sistem Informasi Geografis dikenal pada awal tahun 1980-an. Salah satu kelebihan SIG adalah karena kemampuannya membuat “link” atau hubungan antara feature spasial (titik, garis dan polygon) dengan data atributnya yang tersimpan dalam suatu basis data. Kemampuan atau kelengkapan dalam basis utama merupakan ciri utama yang mencerminkan kemampuan dari  SIG itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa basis data adalah komponen utama dari SIG. Sistem informasi kehutanan yang didukung oleh basis data yang lengkap dan komprehensif  dirancang untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan. 

Sebagai suatu teknologi, SIG makin berkembang dengan ditopang oleh perkembangan di bidang elektronika, terutama komputer. Dalam sejarah perkembangan SIG, dekade 1990-an dinyatakan sebagai periode terobosan  (breakthrough), sejak orientasi objek dalam sistem dan desain database makin baik, diiringi dengan makin meluasnya pengakuan terhadap aktivitas SIG sebagai aktivitas profesional dan berkembang pesatnya teori-teori informasi spasial sebagai dasar teori SIG. Saat ini telah beredar berbagai macam perangkat lunak SIG komersial, seperti MapInfo, ArcView, ArcGIS, dan lain-lain dalam berbagai versi. Selain itu tersedia juga perangkat lunak open source yakni Quantum  GIS sebagai alternatif.

Perkembangan SIG semakin pesat dan seiring dengan perkembangan penginderaan jauh (PJ)/remote sensing.Salah satu produk dari penginderaan jarak jauh adalah citra satelit. Keberadaan citra satelit beresolusi tinggi seperti IKONOS dan Quickbird, telah membuka kesempatan dan peluang baru dalam kegiatan penelitian kehutanan. Penggunaan SIG yang dipadukan dengan PJ memberikan keuntungan lebih, terutama dalam proses kecepatan pengolahan data.

Penginderaan jauh berperan dalam mengurangi secara signifikan kegiatan survey terestrial. Kegiatan survey terestrial adalah kegiatan pengambilan data di lapangan. Dengan adanya PJ, kegiatan survey terestrial hanya dilakukan untuk membuktikan suatu obyek atau fenomena di lapangan (ground check) untuk disesuaikan dengan hasil analisa data.

Permasalahan egosektoral dari berbagai pihak penyedia data spasial menyebabkan ketidakakuratan dan ketidaksinkronan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Untuk menyelesaikan masalh tersebut perlu ditetapkan single reference atau referensi tunggal dalam penyediaan data spasial. Selain itu, data spasial yang ada harus selalu dikontrol atau di update karena data spasial dalam rentang waktu 6 bulan dapat menjadi sangat berbeda. “Badan Litbang kehutanan harus segera mengambil peran dalam pengumpulan data spasial, pengolahan, dan penyajiannya bagi kepentingan pengambilan keputusan,“ tegas Petrus Gunarso, Direktur Tropenbos Internasional Indonesia Programme dalam paparannya.

Sebagai upaya untuk mengintegrasikan data spasial dari berbagai sumber data di Indonesia, Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menyelenggarakan Rapat Koordinasi NasioanL (Rakornas) Informasi Spasial (IG) pada Pebruari 2012 lalu. Target rakornas tersebut adalah merumuskan Rencana Aksi Nasional (RAN) di bidang penyelenggaraan IG yang berisi target jangka pendek 2013 dan 2014, RPJMN 2009-2014 dan jangka panjang sampai dengan tahun 2025.

Tujuan akhir dari seluruh kegiatan rakornas tersebut adalah mewujudkan Informasi geospasial yang andal melalui Ina-Geoportal. Ina-Geoportal merupakan sebuah portal web yang dibangun oleh BIG yang memberikan akses kepada pengguna terhadap beberapa IG yang ada di beberapa Kementerian/Lembaga. Diharapkan nantinya Ina-Geoportal ini menjadi sebuah portal yang dapat mengintegrasikan IG yang dibutuhkan masyarakat Indonesia dan Pemerintah untuk proses pembangunan.(THS)***