Dientry oleh Dyah Puspasari - 12 June, 2020 - 1170 klik
Inovasi untuk Selamatkan Spesies Kunci Ekosistem Hutan Pulau Jawa

[BLI]_Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) adalah spesies kunci bagi keseimbangan ekosistem hutan di Pulau Jawa. Namun, posisinya di IUCN Red List dengan status kritis (critically endangered), serta masuk dalam daftar spesies prioritas nasional, mengharuskan upaya konservasi jenis ini tidak bisa lagi dengan cara-cara biasa, melainkan harus inovatif berbasis riset. 

Inovasi upaya konservasi tersebut mencakup perlindungan habitat, pembinaan habitat, translokasi dan reintroduksi, mitigasi masalah sosial ekonomi, pemulihan habitat terdegradasi, pembuatan koridor, serta kolaborasi antar stakeholder. Hal ini akan berimplikasi kebijakan nasional yang membutuhkan antara lain sinergisitas konservasi satwa dengan rencana tata ruang wilayah, peningkatan populasi satwa prioritas 10%, strategi dan rencana aksi konservasi, serta perlindungan satwa di luar kawasan konservasi.

 Sebagai pemangsa puncak (apex predator), keberadaan macan tutul jawa berperan mengendalikan populasi satwa mangsanya seperti babi hutan, rusa dan monyet ekor panjang sehingga tidak berkembang cepat menjadi hama tanaman pertanian di sekitar hutan. Namun keberadaan jenis ini kian menghadapi ancaman serius. Indikasi penting ancaman tersebut terlihat dari makin seringnya kejadian macan tutul ke luar hutan, kemudian masuk ke lahan pertanian dan bahkan permukiman untuk mencari makan atau tempat tinggal. 

Dr. Hendra Gunawan, profesor riset bidang konservasi macan tutul jawa dari Pusat Litbang Hutan (P3H) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) saat diskusi daring di Bogor (9/6) mengatakan bahwa degradasi habitat menjadi pemicu terbesar (82%) meningkatnya frekuensi macan tutul jawa ke luar dari hutan. Faktor lainnya adalah bertambahnya populasi (12,2%), musim kemarau (2,9%) dan sebab lain (2,9%). 

Baca juga: Peta Rawan Konflik Macan Tutul 

Dalam diskusi daring Teras Inovasi bertajuk “Pengelolaan Macan Tutul Jawa Pasca Pandemi Covid-19” yang digelar Puslitbang Hutan tersebut, lebih lanjut Hendra menjelaskan bahwa kasus macan tutul ke luar dari hutan telah terjadi di 26 kabupaten pada 5 provinsi di Pulau Jawa. Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi di masa depan. Hal ini terkait dengan musim, perilaku mengasuh anak, sifat teritorial dan pertambahan populasi. Dalam paparannya, Hendra menekankan bahwa apabila di masa pandemi Covid-19 ini terjadi peningkatan tekanan pada ekosistem hutan, maka kemungkinan kasus macan tutul ke luar hutan akan meningkat setelah pandemi ini. 

Selama kurun waktu 1993-2020, peneliti pada Puslitbang Hutan tersebut telah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan macan tutul jawa ke luar dari hutan selama 27 tahun terakhir. “Saya mendapatkan 183 record macan tutul jawa ke luar dari hutan, 172 di antaranya catatan dan datanya lengkap,”papar Hendra. 

Hasil penelitian menemukan bahwa fragmentasi hutan telah berdampak penting pada habitat satwa yang menyebabkan hilangnya habitat, pemisahan habitat dan penurunan kualitas habitat.  Kondisi ini menyebabkan populasi macan tutul terus menurun.  Dalam 20 tahun terakhir, populasi Macan Tutul Jawa di Jawa Tengah misalnya, telah mengalami kepunahan lokal sebanyak 26% seiring fragmentasi hutan sebagai habitat macan tutul yang terus terjadi. 

Baca juga: Habitat Macan Tutul Jawa di Lanskap Hutan Produksi yang Terfragmentasi 

Menurut Hendra, kepunahan lokal dapat terjadi jika luas habitat macan tutul kurang dari minimum yang dibutuhkan populasi. Habitat yang terisolasi dari habitat di sekitarnya, juga dapat menyebabkan kepunahan lokal dalam jangka panjang karena inbreeding atau gagal bereproduksi. 

Baca juga: Sebaran Populasi dan Seleksi Habitat Macan Tutul Jawa, di Jawa Tengah 

Diskusi daring ini dibuka oleh Dr. Kirsfianti Ginoga, Kepala Puslitbang Hutan. Dalam sambutannya, Kepala Pusat mengharapkan agar para peserta dapat berbagi informasi mengenai dampak pandemi pada kelestarian hutan terutama pada habitat macan tutul jawa.  

Inovasi Konservasi Habitat Macan Tutul Jawa

Macan tutul jawa memiliki daerah jelajah yang luas meliputi bentang lanskap lintas wilayah administrasi dan melewati berbagai tipe penggunaan lahan. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan yang harus dilakukan dalam skala lanskap. 

Jenis ini juga memiliki preferensi terhadap tipe tutupan lahan, topografi, elevasi dan fungsi kawasan hutan. Preferensi ini diduga berkaitan dengan ketersediaan satwa mangsa, lindungan dan tingkat keamanan dari gangguan manusia. Macan tutul jawa menyukai tipe hutan primer di daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl, berlereng curam dan terlindungi dengan status sebagai kawasan konservasi yang jauh dari gangguan aktivitas manusia. 

Baca juga: Preferensi Habitat Macan Tutul Jawa di Jawa Bagian Barat 

Memperhatikan daya jelajah dan preferensi tersebut serta peran strategis macan tutul jawa bagi keseimbangan ekosistem hutan di Pulau Jawa serta potensi tekanan pada hutan yang terus meningkat, Hendra mengemukakan perlunya upaya mitigasi berbasis inovasi riset. Sebuah model konservasi habitat di lanskap hutan terfragmentasi merupakan inovasi yang ditawarkan untuk mendukung peran strategis macan tutul tersebut. 

Dalam buku orasi profesor risetnya, Dr. Hendra Gunawan menguraikan pokok-pokok inovasi untuk konservasi habitat macan tutul tersebut. Hal pertama yang perlu menjadi perhatian khusus adalah tersedianya perlindungan habitat khusus macan tutul jawa. Fragmentasi habitat yang terjadi selama ini telah menyebabkan macam tutul terpisah menjadi subpopulasi-subpopulasi dalam jaringan metapopulasi.  Saat ini di Pulau Jawa terdapat 49 metapopulasi yang 31% di antaranya memiliki luasan kecil, terisolasi, kesesuaian habitatnya rendah dan kerawanannya tinggi.  

Baca juga: Pengukuhan 3 Profesor Riset dari Puslitbang Hutan 

Berdasarkan kondisi ini, Hendra merekomendasikan bahwa sudah saatnya habitat-habitat macan tutul jawa yang penting, ditetapkan sebagai kawasan perlindungan khusus. Dengan demikian upaya perlindungan dan pembinaan habitat menjadi lebih intensif. 

Model kesesuaian habitat dan kerawanan habitat merupakan pendekatan yang handal untuk membuat grand design pembinaan habitat macan tutul jawa. Apabila pembinaan habitat tidak cukup menyediakan daya dukung karena populasi yang terus berkembang, maka dilakukan langkah translokasi dan reintroduksi. 

Baca juga: Model Kesesuaian Habitat Macan Tutul 

Translokasi dan reintroduksi dapat menjadi salah satu solusi bagi subpopulasi macan tutul jawa yang terancam oleh inbreeding depression karena habitatnya terisolasi. Namun langkah ini perlu mempertimbangkan juga minimum viable population (MVP) dan effective population dari lokasi asal maupun lokasi tujuan. Selain memenuhi kelayakan ekologis, translokasi dan reintroduksi juga harus bisa diterima oleh para pihak sebagai langkah mitigasi permasalahan sosial ekonomi konservasi di masa mendatang. 

Langkah mitigasi aspek sosial ekonomi konservasi sangat penting dilakukan mengingat tingginya gangguan manusia pada ekosistem hutan yang menjadi habitat macan tutul. Pembatasan kegiatan manusia di dalam hutan dengan membuat buffer di pinggir hutan yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat diharapkan dapat mengurangi tekanan pada hutan. 

Baca juga: 4 Penyebab Utama Konflik Macan Tutul dengan Manusia 

Seiring dengan itu, juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat, monitoring populasi, dan pemulihan ekosistem yang terdegradasi baik pada habitat maupun koridor jelajah satwa sehingga antar subpopulasi dapat terhubung. Keterhubungan ini akan meningkatkan laju migrasi sehingga keragaman genetik terpelihara karena dapat menghindari inbreeding. Selanjutnya dapat meningkatkan ukuran populasi dan menurunkan kemungkinan kepunahan. 

Upaya-upaya di atas membutuhkan sinergisitas baik multipihak, lintas sektor, lintas penggunaan lahan dan tutupan lahan. Oleh karena itu diperlukan partisipasi, kolaborasi dan koordinasi antar stakeholder dalam perencanaan maupun implementasinya.  Yang tidak kalah penting menurut Hendra di akhir simpulan paparannya, adalah penegakan hukum kepada pelaku penebangan dan perambahan liar yang menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat macan tutul jawa tersebut. 

Dalam diskusi daring Teras Inovasi pengelolaan macan tutul tersebut, turut hadir sebagai narasumber Dr. Dede Aulia Rahma dari IPB, dan Didik Raharyono Ketua Peduli Karnivora Jawa.  Ketiga narasumber adalah para ahli dalam bidang ekologi dan konservasi satwa liar serta aktif dalam kepengurusan Forum Konservasi Macan Tutul Jawa (FORMATA). Diskusi yang dimoderasi oleh Anita Rianti, S.Pt., peneliti dari P3H, cukup mendapat perhatian dari berbagai kalangan dengan dihadiri oleh sekitar 200 peserta.*(DP)

Ilustrasi Foto Macan Tutul: Sekretariat BLI


Penulis : Dyah Puspasari