EKSPLORASI FUNGI YANG BERPOTENSI MENJADI PATOGEN PENYAKIT DI HUTAN MANGROVE TELUK BINTUNI, PAPUA
I. PENDAHULUAN
Hutan mangrove atau sering disebut hutan bakau merupakan salah satu tipe hutan dengan sifat tertentu serta mempunyai ekosistem tersendiri yang berbeda dengan tipe-tipe hutan lainnya. Hutan mangrove terdapat hampir di seluruh pantai pulau di Indonesia, terbentuknya di sepanjang pantai berlumpur dan umumnya terdapat pada delta di muara sungai. Pembentukan ini mengikuti pola sedimentasi tanah yang dibawa oleh aliran sungai ke sepanjang pesisir pantai.
Berbagai manfaat dapat dipetik dari hutan mangrove antara lain merupakan sumber makanan serta tempat berbiak berbagai jenis ikan yang hidup di perairan pantai, menunjang kelestarian keanekaragaman hayati dan memiliki produktivitas yang tinggi. Selain penting untuk kehidupan biota laut, hutan mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai satwa liar. Hutan mangrove juga berperan sebagai produsen hasil hutan (kayu bakar, arang, bahan penyamak kulit, bahan bangunan, bahan baku chips dan bahan baku pulp & kertas), pelindung alami yang paling kuat terhadap abrasi dan intrusi air laut dan tempat rekreasi.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Pelestarian Alam telah menyusun pola kebijaksanaan yang dituangkan dalam strategi konservasi alam Indonesia yaitu (Wartaputra, 1991) :
- Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya.
- Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia.
- Pelestarian di dalam pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimal dan berkesinambungan.
Beberapa tujuan dari konservasi mangrove adalah :
- Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya
- Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam bahaya punah
- Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi
- Melindungi unsur-unsur yang mempunyai nilai sejarah dan budaya
- Mengelola daerah yang mempunyai nilai estetik
- Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan penelitian
- Sebagai tempat untuk melakukan latihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam
- Sebagai tempat pembanding bagi pemantauan tentang akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan
Beberapa bentuk hutan mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukan dapat dikelompokkan atas :
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai hutan produksi
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai hutan lindung
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai Jalur hijau
· Hutan mangrove yang berstatus sebagai hutan wisata
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia kurang lebih 4,25 juta ha, 70%nya terdapat di Papua. Luas kawasan konservasi mangrove 720.795,4 ha (Wartapura, 1991).
Hutan mangrove sebagai salah satu potensi sumberdaya alam yang produktif juga tidak luput dari serangan penyakit, seperti halnya yang terjadi di kawasan hutan produksi mangrove disekitar Teluk Bintuni, tepatnya pada areal konsesi IUPHHK PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI). Teluk Bintuni di pantai barat Papua, yang berbentuk empat persegi panjang dengan panjang kurang lebih 100 mil, lebar 12 mil dan kedalaman rata-rata 40 meter. Areal hutan mangrove di perairan Teluk Bintuni diperkirakan sekitar 450.000 ha (Soeroyo dan Sapulete, 1994 dalam Setiadi dan Wenno, 1995). Kondisi hidrologi perairan Teluk Bintuni cukup unik dengan nilai tunggang air rata-rata pada saat pasang surut dapat mencapai 6 meter (Anonimous, 1992 dalam Setiadi dan Wenno, 1995). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya arus pasang surut yang deras sehingga sirkulasi air cukup lancar. Beberapa jenis mangrove yang cukup dominan dalam kawasan adalah blukap (Rhizophora mucronata Lam.), langadai (Bruguiera parviflora (Roxb.) Wight and An), tengar (Ceriops tagal (Perrottet) C.B. Robinson), tumuk (Bruguiera gymnorhiza), Avicenia spp. dan Sonneratia spp.
Tujuan eksplorasi ini adalah untuk mengetahui jenis fungi yang berpotensi sebagai patogen penyebab penyakit pada hutan mangrove di areal konsesi IUPHHK PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI) Teluk Bintuni, Papua.
Eksplorasi fungi patogen penyakit ini merupakan langkah awal dalam usaha melindungi hutan mangrove dan sekaligus sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitasnya, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas, sehingga kebutuhan manusia akan mangrove yang terus meningkat dapat terpenuhi.
II. BAHAN DAN METODE
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada kawasan hutan produksi mangrove di sekitar Teluk Bintuni, tepatnya pada areal konsesi IUPHHK PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI). Areal kerja pada PT BUMWI ditetapkan sebagai kawasan konsesi IUPHHK berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-IV/88, tanggal 28 Maret 1988 dengan luas areal 137.000 Ha yang terdiri dari areal berhutan seluas 129.000 ha dan tidak berhutan seluas 8.000 ha. Termasuk dalam wilayah Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua dan terletak pada wilayah geografis dengan posisi 132.47’ – 133.59’ Bujur Timur dan 2.22’ – 2.47’ Lintang Selatan.
Beberapa jenis mangrove yang cukup dominan dalam kawasan adalah blukap (Rhizophora mucronata Lam.), langadai (Bruguiera parviflora (Roxb.) Wight and An), tengar (Ceriops tagal (Perrottet) C.B. Robinson), tumuk (Bruguiera gymnorhiza), Avicenia spp. dan Sonneratia spp.
Jenis tanahnya adalah hidromorf kelabu dan alluvial hidromorf dengan curah hujan rata-rata tahunan yang dicatat pada stasiun pengamat terdekat di Babo sebesar 2.797 mm atau menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk iklim tipe A. Pasang surut air laut antara Januari sampai dengan Maret 1999 berkisar antara 6 – 9,6 m dan termasuk tipe pasang surut diurnal.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis tanaman yang ada di hutan mangrove seperti blukap (Rhizophora mucronata Lam.), langadai (Bruguiera parviflora (Roxb.) Wight and An), tengar (Ceriops tagal (Perrottet) C.B. Robinson), tumuk (Bruguiera gymnorhiza), Avicenia spp. dan Sonneratia spp., aluminium foil, alkohol, kertas tissue, kertas koran dan kantong plastik. Sedangkan alat yang digunakan antara lain alat pemotong (gunting stek, cutter, dan skalpel), loupe, mikroskop dan kamera.
C. Metode Penelitian
- Eksplorasi jenis fungi dilakukan pada plot permanen seluas masing-masing 1 hektar telah dibuat pada beberapa lokasi dalam areal kerja PT BUMWI antara lain pada areal bekas tebangan tahun 2005 (GPS Point : - 2,55394), areal bekas tebangan tahun 2000 (GPS Point : - 2,46753/133,7448). Di tiap-tiap plot dilakukan pengamatan pada setiap batang yang ada, baik berupa batang hidup maupun berupa batang bekas tebangan dan tunggul.
- Pengamatan pada batang yang ditumbuhi fungi, pengambilan fungi untuk keperluan identifikasi.
- Identifikasi dan deskripsi fungi dilakukan di Laboratorium Penyakit Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor, dengan pedoman buku pengenalan jenis fungi, koleksi pembanding, literatur dan konsultasi langsung dengan para ahli taksonomi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi fungi patogen penyakit di hutan mangrove areal konsesi IUPHHK PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI) ditemukannya beberapa fungi makroskopis (ukuran besar) yang tumbuh pada tegakan, batang-batang bekas tebangan dan tunggul. Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium diperoleh fungi yang berpotensi sebagai patogen (menimbulkan penyakit) yaitu genus Ganoderma sp.
Alexopoulos dan Mims (1979) memasukkan Ganoderma ke dalam Divisi Amastigomycota, Subdivisi Basidiomycotina, Klas Basidiomycetes, Subklas Holobasidiomycetidae, Ordo Aphyllophorales dan famili polyporaceae.
Ordo Aphyllophorales terdiri dari 6 famili yang kuncinya adalah sebagai berikut,
A. Himenium halus, kasar, atau keriput.
B. Basidiokarp serupa jaring-jaring, berselaput, serupa belulang atau keras
..........................................................................Thelephoraceae.
C. Basidiokarp serupa gada atau bunga karang, biasanya menegak........ ; ....................................................................Clavariaceae
&n bsp; CC. Basidiokarp berupa payung atau corong.............Cantharellaceae
AA. Himenium lain, tidak seperti di atas
D. Himenium melapisi kutil-kutil, duri, atau gigi yang menunjukka ke bawah
……………………………&hel lip;……………………Hydnaceae
DD. Himenium melapisi dinding dalam dari lubang atau tabung
&n bsp; E. Lubang dangkal, tepinya subur…………Meruliaceae
&n bsp; EE. tabung dalam, atau jika dangkal mandul di tepi; basidiokarp tidak lunak dan tidak membusuk.................Popyporaceae
Pegler (1973) dalam Abadi (1987) menyatakan bahwa Ganoderma masuk ke dalam famili Ganodermataceae dengan ciri-ciri famili dan kunci determinasi hingga genus adalah sebagai beikut : Famili Ganodermataceae merupakan kelompok fungi tahunan atau semusim yang mempunyai basidiokarp bertangkai atau tidak bertangkai, dan mempunyai kulit luar yang keras. Himenofor selalu berbentuk tabung dan pada umumnya tersusun dalam beberapa lapisan. Konteks berwarna coklat muda sampai coklat tua, atau coklat keungu-unguan dengan tekstur bergabus sampai berkayu. Sistim hifa dimitik atau trimitik dengan hifa skeletal yang sering bercabang dibagian ujungnya, dengan hifa generatir yang mempunyai sambungan apit. Basidiospora berbentuk bola sampai elips, struktur dinding basidiospora sangat kompleks dengan ekoepisorium berpigmen dan bergerigi serta dilapisi oleh perisporium hialin.