No |
Judul |
Penulis |
Peneliti |
Unit Kerja |
Tahun |
Abstrak |
Dokumen |
1 |
Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara |
|
- Nama : Julianus Kinho, S.Hut
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
- Email : kinho81@yahoo.com
|
|
|
Kelompok jahe-jahean merupakan tumbuhan herba dari famili Zingiberaceae. Jenis tumbuhan ini sudah dibudidayakan dan dikembangkan dalam industri farmasi sejak lama. Beberapa jenis dari famili ini memiliki keindahan arsitektur dan ornamen. Banyak dari jenis tumbuhan ini memiliki ornamen yang indah dalam penampilannya. Beberapa jenis diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias. Jahe-jahean memiliki kerabat liar yang hidup di hutan-hutan tropis Indonesia. Jenis-jenis ini tumbuh dan tersebar luas mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan di bagian utara Sulawesi. Jahe-jahean penting untuk diketahui ehingga dapat dilestarikan dan dikembangkan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan dengan cara menjelajah seluruh area menggunakan transek iregular untuk mewakili daerah-daerah yang potensial sebagai tempat tumbuhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahe-jahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum
Detail |
|
2 |
Corak Indah Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) |
|
- Nama : Ir. Merryana Kiding Allo, M.P
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar
- Email :
|
Balai Penelitian Kehutanan Makassar |
2012 |
Kayu eboni dikenal dengan warnanya yang hitam bercorak, memiliki pola garis sejajar hingga bergelombang ringan dan memiliki kesan raba halus. Tergolong ke dalam jenis kayu mewah dengan harga jual cukup mahal di antara jenis komersial yang ada di Indonesia. Perbedaan warna pada kayu gubal dan kayu teras eboni sangat kontras, kayu gubal berwarna putih kekuningan sedangkan kayu teras berwarna hitam kemerahan atau hitam kecoklatan. Terdapat perbedaan warna dan corak kayu teras eboni pada tiga lokasi tempat tumbuh eboni. Perbedaan tersebut cenderung dipengaruhi oleh letak dan kondisi fisik masingmasing tempat tumbuh. Kayu eboni yang lebar stripnya, memiliki warna yang lebih terang didominasi oleh warna coklat kekuningan di antara strip tipis yang berwarna hitam. Sedangkan corak kayu yang stripnya rapat didominasi oleh warna hitam. Bentuk strip hitam tipis dengan interval strip berwarna coklat muda tebal menyebabkan warna coklat muda jadi dominan. Letak strip sejajar tidak beraturan strip hitam diselingi oleh interval antar strip berwarna coklat muda. Kayu eboni asal Kasimbar merupakan yang terbanyak jumlah stripnya yaitu 30,6 strip pada lebar bidang radial 10 cm dengan ukuran lebar strip rata-rata 1,7 mm, lebar interval antar strip rata-rata 1,6 mm. Kayu eboni asal Karaenta memiliki jumlah strip hitam rata-rata 26 strip pada lebar bidang radial 10 cm dengan ukuran lebar strip rata-rata 1,5 mm, lebar interval antar strip berwarna coklat muda adalah 2,4 mm. Bentuk strip hitam agak tipis dengan interval coklat tua kemerahan agak tebal. Letak strip hitam mengelompok sejajar tidak beraturan dan kadang bergelombang. Sedangkan kayu eboni asal Parangloe memiliki jumlah strip rata-rata 23,2 strip pada lebar bidang radial 10 cm dengan lebar strip rata-rata 1,1 mm, jarak interval antar strip 3,2 mm.
Detail |
|
3 |
Fiber Qualities Of Pretreated Betung Bamboo (Dendrocalamusasper) By Mixed Culture Of White-Rot Fungi With Respect To Its Use For Pulp/Paper |
|
- Nama : Ratih Damayanti, S.Hut, M.Si, P.Hd
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Pusat Litbang Hasil Hutan
- Email : ratih_turmuzi@yahoo.com
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2013 |
Previous research on anatomical structures of pretreated large (betung) bamboo (Dendrocalamusasper) using single culture of white-rot fungi has been investigated, which revealed that the pretreatment caused the decrease in the Runkel ratioas well as the coefficient rigidity and the increase in the flexibility ratio of their corresponding bamboo fibers. However, there is no study reported on the anatomical structure changes of them caused by pretreatment using mixed culture of white-rot fungi. This paper reports the results of the research on paper/pulp quality after different treatments. Pretreatment that used fungi and lasted for 45 days inflicted intensive fiber damages compared with those of untreated bamboo (control). Fresh and barkless large (betung) bamboo chips of 2 year's old, and 1.6 cm in length, were inoculated by 10% of mixed culture of white-rot fungi inoculums stock for 30 and 45 days in room temperature. There were four treatment groups of mixed culture, i.e T. versi color and P. ostreatus (TVPO); P. ostreatus P. chrysosporium (POPC); P. chrysosporium and T.versi color (PCTV); and P.chrysosporium, T.versicolorand P.ostreatus (TVPCPO). After the inoculation period, the chips were macerated into separate fibers using Scultze method to analyze the fiber dimension and its derived values. The fibers were then observed regarding their macro and microscopic structures by optical microscope. Mixed culture pretreatment of white-rot fungi accelerated improvement of fiber morphology and fiber derived value characteristics, except for Muhlsteph ratio. The fiber derived values oftreated bamboo tended to improve compared to those of untreated bamboo, there by requiring milder pulping conditions. Accordingly, the treated bamboo would indicatively produce a good quality pulp (grade I) based on FAO and LPHH (Forest Product Research Report) requirements. Co-culture treatment using and for 45 days produced the best fiber dimension and its derived value properties. The fungi hypae colonized on the surface area of bamboo followed by mycelium penetration into substrate (bamboo-inner structure). The partial degradation caused by delignification indicatively attributed to the fungi activity was shown in the macroscopic images.
Detail |
|
4 |
Anatomical Characterstics and Chemical Properties of the Branch-Wood of Schizolobium amazonicum Ducke Species and its Potential Uses |
|
- Nama : Ratih Damayanti, S.Hut, M.Si, P.Hd
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Pusat Litbang Hasil Hutan
- Email : ratih_turmuzi@yahoo.com
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2013 |
The scale of forest degradation and deforestation in Indonesia has inspired the use of lesser-known wood species, which are potentially abundant and so far has not much been utilized. Utilization of these woods should be imposed not only of the stem wood but also of the branch-wood portions. Schizolobiumamazonicum Ducke treeis one of those lesser-known species, and growing fast with an MAIof3.68 cm/year.In Indonesia this species is only found in the Purwodadi Botanical Garden. A research was conducted to study the basic characteristics (anatomical aspects and chemical properties) of the branch-wood portion of this species. The branch-wood materials were obtained from the Purwodadi Botanical Garden situated in Pasuruan (East Java). The specimens used were the first branch of the trunk (stem) of nine-year old S. amazonicum tree (= 29.46 cm). The branch-wood samples were then examined for the anatomical aspects (macroscopic and microscopic characteristics) and chemical properties (chemical composition). Results revealed that the anatomical properties of S.amazonicum branch-wood exhibited close similarities to those of sengon wood; it was light in appearance and white in color. Its fiber averaged about 1500 μm, and based on the fiber dimension's derived values the branchwood fiber of this species was categorized into first-class quality for pulp and paper manufacture. Further, the chemical composition of this branch-wood compared favorably with that of sengon and mangium wood. The composition of extractive content that this branch-wood were 2.46; 28.71; 80.64; and 50.47%, respectively. The overall assessment implied that the branch-wood portion of S.amazonicum tree affords favorable potential to be developed as raw material for pulp and paper manufacture. Also, considering that both sengon and mangium woods were already used in the pulp and paper industries as well as the trees are used for the establishment of industrial plantation forests (HTI), therefore S.amazonicum trees, as fastgrowing species,are also promising for the establishment of pulp/paper-HTI for their branch-wood
Detail |
|
5 |
Ciri Anatomi Lima Jenis Kayu Penghasil Gaharu dan Dua Jenis Kerabatnya |
Andianto |
- Nama : Andianto, S.Hut, M.Si
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Pusat Litbang Hasil Hutan
- Email : andiant068@yahoo.co.id
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2010 |
Identifikasi jenis kayu penghasil gaharu dapat dilakukan berdasarkan ciri anatomi kayu.Beberapa jenis kayu penghasil gaharu adalah anggota suku Thymeleaceae. Bahan kayu dari lima jenis yang diketahui sebagai penghasil gaharu dan dua jenis sekerabatnya disayat dengan mikrotom untuk memperoleh sayatan tipis guna pengamatan struktur anatomi. Dimensi pembuluh dan serat diukur melalui preparat maserasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Aquilaria spp., Gyrinops versteeghii dan Gyrinopsis cumingiana memiliki kulit tersisip sedangkan Amyxa pluricornis dan Phaleria sp. tidak. Aquilaria spp. memiliki pembuluh ganda radial umumnya 2(-3) sel. Gyrinops versteeghii dan Gyrinopsis cumingiana memiliki pembuluh ganda radial umumnya 2-4 (-6-8) sel. Gyrinops versteeghii dapat dibedakan dengan Gyrinopsis cumingiana dari lebar jari-jari, yaitu 1 seri pada Gyrinops versteeghii, tetapi 1 sampai 2 seri pada Gyrinopsis cumingiana. Amyxa pluricornis dapat dibedakan dengan Phaleria sp. dari bentuk parenkim, yaitu parenkim konfluen pada Amyxa pluricornis, namun vasisentrik pada Phaleria sp. Bagian batang Aquilaria malaccensis dan Aquilaria microcarpamemiliki persen pembuluh soliter, tinggi jari-jari dan panjang serat lebih besar dibandingkan bagian akar, namun sebaliknya diameter dan panjang pembuluhnya lebih kecil.
Detail |
|
6 |
Karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung (calophyllum inophyllum linn) |
Santiyo Wibowo, Wasrin Syafii & Gustan Pari |
- Nama : Santiyo Wibowo, STP, M.Si
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Pusat Litbang Hasil Hutan
- Email : Santiyowibowo1973@yahoo.co.id
|
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli |
2010 |
Limbah tempurung nyamplung dapat dimanfaatkan sebagai arang aktif untuk bahan penyerap gas dan cairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung. Tempurung nyamplung diarangkan, kemudian direndam dalam larutan H3PO4 pada konsentrasi 0%, 5% dan 10% selama 24 jam. Selanjutnya diaktivasi dalam retort pada suhu 700oC dan 800oC selama 60 dan 120 menit. Kualitas arang aktif tempurung nyamplung diuji menggunakan SNI 06-3730-1995.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas arang aktif tempurung nyamplung terbaik diperoleh pada aktivasi perendaman H3PO4 10% pada temperatur 700oC selama 120 menit. Pada kondisi tersebut diperoleh rendemen sebesar 52%, kadar air 8,25%, kadar zat terbang 7,41%, kadar abu 4,27%, kadar karbon terikat 88,32%, daya serap iod 839,11 mg/g dan daya serap benzena 13,65%.
Detail |
|
7 |
Sifat pemesinan kayu surian (toona sinensis (adr.juss) M j Roemer) dan kepayang (pangium edule reinw) |
|
- Nama : Muhammad Asdar, S.Hut, M.Si
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar
- Email : asdarbpkm@yahoo.com muh.asdar@gmail.com asdar@forda-mof.org
|
Balai Penelitian Kehutanan Makassar |
2010 |
Pemesinan kayu adalah proses pengolahan kayu menjadi produk-produk seperti kayu gergajian, vinir dan meubel. Kualitas pemesinan kayu akan menentukan kualitas produk kayu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sifat pemesinan kayu surian dan kepayang asal Sulawesi. Pengujian sifat pemesinan mengacu pada ASTM D 1666-64 meliputi aspek uji penyerutan, pembentukan, pembubutan, pemboran dan pengampelasan. Mutu hasil pemesinan dinilai dari persentasi cacat yang muncul setelah proses pemesinan yang selanjutnya ditetapkan dalam lima kelas mutu. Hasil penelitian menunjukkan kayu surian dan kepayang memiliki sifat pemesinan sangat baik atau kelas I kecuali sifat pengampelasan pada kayu surian dan sifat pembubutan kayu kepayang yang tergolong baik atau kelas II. Kayu surian dan kepayang cocok digunakan sebagai bahan baku meubel dan moulding
Detail |
|
8 |
Pengaruh Pemberian Pupuk pada Posisi Vertikal Batang terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Petung |
Abdurachman & Saefudin |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2009 |
Penelitian ini bertujuan menganalisa pengaruh pemberian pupuk kompos + mikoriza dan posisi vertikal batang terhadap sifat fisik dan mekanik bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex Heyne). Respon yang diamati adalah kerapatan, kadar air, modulus elastisitas (MOE) dan modulus patah (MOR). Pemupukan dilakukan pada awal penanaman dengan pupuk kompos plus mikoriza sebanyak 5 kg/lubang tanam dengan ukuran setiap rumpun 5 x 5 m2. Bambu percobaan diambil 20 batang dari 3 rumpun untuk penelitian sifat fisik dan mekanik. Contoh uji diambil pada ruas ke- 3 (40-50 cm) dari bagian pangkal batang sepanjang lebih kurang 7 m. Kemudian dibagi 3 menurut ketinggian batang (pangkal, tengah dan ujung). Hasil penelitian menunjukkan, diameter dan tebal bambu yang diberi perlakuan jauh lebih besar dibandingkan dengan bambu petung yang tidak diberi perlakuan. Nilai rata-rata kerapatan dan kadar air tidak menunjukkan konsistensi antara perlakuan dengan kontrol pada posisi vertikal batang. Nilai rata-rata MOE hasil pemupukan pada bagian pangkal menurun 46% dan bagian tengah 44%, namun pada bagian ujung meningkat sebesar 10%. Demikian pula MOR, pada bagian pangkal menurun 44%, bagian tengah 44% dan bagian ujung meningkat sebesar 2%
Detail |
|
9 |
Studi Pemanfaatan Tiga Jenis Fungi pada Pelapukan Daun dan Ranting Mangium di Tempat Terbuka |
Djarwanto |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2009 |
Studi dekomposisi daun dan ranting mangium (Acacia mangium) dari limbah tebangan, menggunakan tiga isolat fungi pelapuk yaitu Schizophyllum commune HHBI-204, Marasmiussp. HHBI-346 dan Pycnoporussp. HHBI-348, dan diinkubasikan selama 30 hari di tempat terbuka, di Bogor. Tingkat dekomposisi contoh uji dievaluasi berdasarkan perubahan kandungan karbon organik, nitrogen total, kadar unsur hara, dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasilnya menunjukkan bahwa inokulasi fungi berpengaruh terhadap kandungan kimia daun dan ranting mangium. Nisbah C/N contoh uji berkisar antara 33,1-36,4. Kandungan unsur hara makro tersebut yaitu N 0,75% - 0,86%, P 0,26% -0,35%, K 0,21% - 0,25%. Sedangkan nilai KTK berkisar antara 21,46 me/100g - 26,12 me/100g. Pada umur inkubasi 30 hari, peran fungi pelapuk sebagai aktivator dekomposisi daun dan ranting mangium belum cukup nampak.
Detail |
|
10 |
Karakteristik Kayu Kelapa Sawit Tua |
Jamal Balfas |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2009 |
Kayu kelapa sawit yang berasal dari kegiatan penjarangan diketahui memiliki karakteristik yang rendah dibandingkan dengan kayu komersil. Namun demikian tidak ada informasi yang menguraikan karakteristik kayu sawit yang berasal dari pohon tua. Penelitian ini mengevaluasi karakteristik kayu sawit yang berasal dari tanaman usia tua dan usia peremajaan. Semua pohon contoh diambil dari blok perkebunan sawit yang sama di wilayah Jasinga, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon sawit tua memiliki batang dengan ukuran diameter lebih kecil, lebih tinggi dan volume yang sama dengan pohon sawit peremajaan. Kayu sawit tua memiliki jumlah jaringan vaskular lebih banyak dibandingkan dengan jaringan tersebut pada kayu sawit peremajaan. Perbedaan struktur menurut umur pohon pada kayu sawit menyebabkan kayu sawit tua lebih baik secara fisis, mekanis maupun pemesinan daripada kayu sawit peremajaan. Kayu sawit tua memiliki kesetaraan beberapa sifat teknis dengan kayu kelapa dan kayu komersil lainnya
Detail |
|