No |
Judul |
Penulis |
Peneliti |
Unit Kerja |
Tahun |
Abstrak |
Dokumen |
1 |
Enhancing the Productivity of Degraded Land Through Soil and Water Conservation Technique in Carita Research Forest, West Java |
|
- Nama : Prof.Riset.Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Pusat Litbang Hutan
- Email : pratiwi.lala@yahoo.com
|
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi |
2012 |
Encroachments on Carita Research Forest area have exacerbated the degradation of land due to uncontrolled runoff, erosion and nutrient losses especially on the sloping land with high annual rainfall. To reduce the severity of the degradation the area should be rehabilitated by applying soil and water conservation techniques. The techniques used were the vegetative methods (culture), and a combination of it with mechanical/technical methods. The combination method is expected to be more effective in controlling runoff, erosion and nutrient losses. One important parameter is the efficiency of the distance of the vertical mulch channel, which affects the application cost. This study was aimed to determine the effect of different distances of vertical mulch channels on the plant growth and annual crop yield as well as its effectiveness in controlling runoff, erosion and nutrient losses. The research was conducted in Carita Research Forest from 2005 to 2008, using the randomized block design. Treatments applied were: vertical mulch with six and twelve meter distances of plots of khaya (Khaya anthotheca C.Dc.) and corn (Zea mays L.) cropping system. Observations included height and diameter growth of khaya, runoff and erosion, and cost per ha. The results showed that six meter of vertical mulch was the most efficient distance. The height and diameter of khaya tree increased by 7% and 31% in six meter distance compared to the control. Moreover, runoff and erosion was reduced by 75% and 37%, and nutrient losses could be trimmed down by three to five times. In addition, six meters distance could also produce corn of 712 kg/ha/year, which was 73% greater than corn production without vertical mulch. On the other hand, the cropping system with six meter distance of vertical mulch required Rp 3,250,000,- per ha, which was Rp 250,000,- more expensive than that without vertical mulch.
Detail |
|
2 |
Early Warning of Rainfall-Induced Landslides and Debris Flows on Mt. Bawakaraeng South Sulawesi, Indonesia |
|
- Nama : Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar
- Email :
|
Balai Penelitian Kehutanan Makassar |
2013 |
Rainfall thresholds that form the basis of the landslide warning systems now exist for a few areas in Indonesia. Based on analysis of historical data, threshold performance varies according to precipitation characteristics, and threshold exceed corresponds to a given probability of landslide occurrence. Early warnings of landslides and debris flows that include specific information about affected areas, probability of landslide and debris flow occurrence, and expected timing are technically feasible as illustrated by a case study made on Mt. Bawakaraeng, South Sulawesi, Indonesia. Records from 1997 to 2007 of rainfall data and history of landslides and debris flows were collected from the Ministry of Public Works of the government of Indonesia. The threshold, as defined by the lower boundary of the points representing landslides and debris-triggering rainfall events, is expressed by the equations = 41.85D-0,85 before the large scale landslide on March 26, 2004 and = 37.71D-0,90 after the large scale landslide, where is the rainfall intensity (mm/hr) and is the duration of rainfall (hr). According to empirical threshold analysis, the regression curve can be considered as a reliable rainfall intensityduration threshold for the study area, above which, landslide or debris flow event may occur.
Detail |
|
3 |
TEKNIK IDENTIFIKASI DAERAH YANG BERPOTENSI RAWAN LONGSOR PADA SATUAN WILAYAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (Technique of Identification Area that Potential Landslide Prone at Unit Area of Watershed) |
|
- Nama : Ir. Benny Harjadi, M.Sc
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
- Email : adbsolo@yahoo.com
|
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaaan DAS |
2013 |
Incidence of landslides in Indonesia lately continues to increase in intensity and distribution. Landslides occur when shearing resistance during soil or rock is smaller than the shear stress along the plane of avalanches caused by an increase in water saturation of the soil during the rainy season. The purpose of this study was to obtain identification techniques that have the potential landslide areas, so that people easily recognize and there was no unnecessary casualties. The research location was on land located in areas prone to landslide in Purworejo, Banjarnegara, and Karanganyar in Central Java Province. Methods avalanche observations by noting some of the parameters causes landslides include: slope, rainfall, soil texture, soil regolith, delivery, population density. The observation areas prone to landslide sequence of sub watershed (watershed) heaviest: Banjarnegara in sub watershed Merawu (12 cm), Purworejo in sub watershed Gesing (8 cm), and Karanganyar in sub watershed Mungkung-Grompol (0 cm). The higher the clay content, the more potential landslides, besides factor slope, depth regolith, the faults and high rainfall. Impacts or benefits of this research were: a)anticipated/minimize casualties in the event of landslides in areas prone to landslide, b) provided information to the public to get to know potential landslide areas and adapt to landslides, c) provided early warning by installing a variety of tools, such as: extensometer, graduated ombrometer rain, and introduce a wide range of plants that were resistant to landslides.
Detail |
|
4 |
KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH JENIS-JENIS POHON DI DAS PEMALI JRATUN, JAWA TENGAH |
Pratiwi, I Wayan S.D., G.M. Eko Hartoyo, & Yulianto |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi |
2012 |
Rehabilitasi hutan dan lahan mutlak diperlukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sampai dengan saat ini keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan masih sangat rendah. Untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi, diperlukan upaya yang seksama dalam pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan termasuk kesesuaian tempat tumbuhnya. Salah satu pendekatan untuk mengetahui kesesuaian tempat tumbuh suatu jenis pohon adalah dengan melakukan kajian mengenai jenis-jenis pohon potensial dan bernilai ekonomis di suatu tempat, yang ditunjang dengan data persebaran jenis pohon pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tempat tumbuhnya. Jenis-jenis pohon yang bernilai ekonomis tersebut dituangkan dalam peta kesesuaian tempat tumbuh yang terdigitasi. Tujuan penelitian ini adalah menyediakan peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali Jratun, Jawa Tengah. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis pohon tersebut diperoleh dengan meng-overlay-kan semua informasi persyaratan tempat tumbuh jenis pohon yang bersangkutan, antara lain : peta tanah, peta topografi, dan peta iklim (curah hujan). Informasi ini diharapkan dapat dipakai sebagai landasan untuk menyusun kebijakan dan strategi rehabilitasi DAS Pemali Jratun terutama di sub DAS yang sangat kritis.
Detail |
|
5 |
KARAKTERISTIK LAHAN KRITIS BEKAS LETUSAN GUNUNG BATUR DI KABUPATEN BANGLI, BALI |
Ryke Nandini & Budi Hadi Narendra |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu |
2012 |
Lahan bekas letusan Gunung Batur merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali. Bekas letusan Gunung Batur meningggalkan karakteristik biofisik yang khas yang menyebabkan perlunya suatu kajian tentang karakteristik lahan bekas letusan Gunung Batur agar dapat disusun suatu strategi rehabilitasi hutan dan lahan. Karakteristik lahan yang dikaji antara lain meliputi iklim, fisiologi dan geologi, tanah, hidrologi, serta vegetasi dan penutupan lahan. Hasil kajian menunjukkan bahwa tipe iklim di lokasi penelitian adalah E (agak kering) dengan curah hujan rata-rata tahunan 1750,9 mm. Secara fisiologis lokasi penelitian merupakan bentukan lahan asal vulkanik yang didominasi oleh medan lava dengan geologi tersusun atas batuan ignimbrit, basalt, breksi vulkanik dan andesit. Kesuburan tanah termasuk sangat rendah dan potensi hidrologi yang ada berupa mata air yang ada di sekitar danau Batur. Jenis vegetasi yang mendominasi adalah tusam (Pinus merkusii Jungh.& de Vriese) dan ampupu (Eucalyptus urophylla S.T.Blake).
Detail |
|
6 |
ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN DEBIT SUB SUB DAS NGATABARU, SULAWESI TENGAH |
Wuri Handayani & Yonky Indrajaya |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry |
2011 |
Hutan mempunyai peran yang penting dalam proses hidrologi karena kemampuannya sebagai pengatur tata air. Hutan dapat menyerap dan menyimpan air pada musim penghujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui proses hidrologi dalam DAS dengan berbagai tipe penggunaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan curah hujan dan debit (limpasan dan debit sedimen) di sub sub DAS Ngatabaru, Sulawesi Tengah dengan vegetasi hutan sebagai penutup lahan utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan dapat menyerap banyak air hujan pada musim hujan dan melepaskannya secara perlahan pada musim kemarau. Koefisien rejim sungai (rasio debit maksimum dan minimum) dalam penelitian ini adalah 2,5, menunjukkan bahwa air mengalir sepanjang tahun. Namun demikian, koefisien aliran (rasio debit dan hujan) sebesar 0,15, menunjukkan bahwa sebagian besar hujan hilang karena tingginya evapotranspirasi hutan. Pada kejadian hujan yang sangat tinggi, kecenderungan debit sedimen lebih dipengaruhi oleh curah hujan daripada debit sungai
Detail |
|
7 |
PENGARUH HUTAN DALAM PENGATURAN TATA AIR DAN PROSES SEDIMENTASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) : STUDI KASUS DI DAS CISADANE |
Edy Junaidi & Surya Dharma Tarigan |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry |
2011 |
Peranan hutan dalam mengatur aliran sungai, baik debit aliran maupun debit sedimen, telah lama menjadi perhatian. Para ahli hidrologi berpendapat peranan hutan dalam mengatur aliran sungai dan sedimentasi hanya berlaku pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mempunyai luasan sempit ( < 100 km2), tidak berlaku untuk DAS-DAS yang mempunyai luasan >100 km2 . Guna mengantisipasi kelemahan-kelemahan penelitian sebelumnya, penelitian yang mengkaji peranan penutupan lahan hutan terhadap aliran sungai dan proses sedimentasi pada DAS dilaksanakan pada DAS dengan luasan sempit (< 100 km2), sedang (100 km2 - 500 km2) dan luasan lebar (> 500 km2). Penelitian ini memanfaatkan model hidrologi SWAT. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji peranan penggunaan lahan hutan dalam pengaturan tata air dan sedimentasi yang terjadi pada suatu DAS dengan beberapa luasan tanpa mengabaikan peranan penggunaan lahan lain. Pada luasan DAS lebar, keberadaan hutan kurang berperan dalam mengatur tata air dan proses sedimentasi. Keberadaan lahan hutan berperan dalam mengatur tata air dan proses sedimentasi pada luasan sedang dan sempit
Detail |
|
8 |
HUMIFIKASI PADA TANAH DI BEBERAPA TIPE TEGAKAN HUTAN PAPUA BARAT DENGAN PENDEKATAN SPEKTROFOTOMETRIK |
David Seran |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari |
2011 |
Penelitian ini dilaksanakan di daerah Anggori, Distrik Manokwari Timur dari bulan Mei sampai Desember 2009. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang karakteristik kimia humus tanah di bawah empat tipe tegakan hutan di daerah Anggori, Distrik Manokwari Timur, Provinsi Papua Barat. Keempat tegakan hutan tersebut adalah matoa (Pometia pinnata Forst.), jati (Tectona grandis Linn.f.), araukaria (Araucaria cunninghami Sweet.), dan tegakan hutan alam. Metodenya dengan cara contoh tanah diambil pada kedalaman 0-30 cm (D1) dan 30-50 cm (D2). Hasil ekstraksi dan fraksionasi dengan NaOH 0,5 N dan konsentrasi HCL menunjukkan tingkat serapan spektrofotometer asam humik dan asam fulfik yang tertinggi dari substansi humus terlihat pada panjang gelombang 400 nm dan 800 nm. Serapan asam humik rata-rata tinggi pada tegakan araukaria (Araucaria cunninghamii Sweet.) dan tegakan matoa (Pometia pinnata Forst.) dibandingkan dengan tegakan jati (Tectona grandis Linn.f.) dan hutan alam. Rasio asam humik dan asam fulfik tanah lebih tinggi pada tegakan matoa (Pometia pinnata Forst.) sebesar 4,44 pada tanah tingkat atas dan 2,18 pada tingkat bawah. Nilai terendah terdapat pada hutan alam sebesar 1,51 pada tanah tingkat atas dan 1,40 pada tanah bagian bawah. Berdasarkan rasio warna tanah (Q4/6), asam humik hutan alam lebih tinggi dengan nilai 8,97 pada tingkat tanah atas dan 8,91 pada tanah bagian bawah, sedangkan nilai terendah berada di bawah tegakan araukaria dengan nilai 2,18 pada tanah tingkat atas dan 5,33 pada tingkat bawah. Karakteristik kimia humus tanah pada empat tegakan hutan menunjukkan bahwa hutan alam memiliki tingkat humifikasi yang paling rendah sehingga kemungkinan memiliki substansi toksik yang tinggi. Di samping itu tegakan matoa (Pometia pinnata Forst.) memiliki tingkat humifikasi yang paling tinggi dibandingkan dengan tegakan lainnya dan kecil kemungkinan memiliki substansi toksik.
Detail |
|
9 |
KERAGAAN (PERFORMAN) JATI GN-RHL DI SUB DAS SAMIN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI |
Heru Dwi Riyanto dan Paimin |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS |
2011 |
Perkembangan luas lahan kritis dicerminkan oleh semakin besarnya jumlah daerah aliran sungai (DAS) dalam kondisi kritis yakni 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998, serta pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 282 DAS. Padahal upaya pengendalian lahan kritis telah digaungkan secara intensif sejak tahun 1976 melalui program Inpres (Instruksi Presiden) Reboisasi dan Penghijauan dan mulai tahun 2003 telah didorong melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan/GN-RHL). Kondisi tersebut terjadi karena aspek monitoring dan evaluasi keberhasilan Gerhan/GN-RHL dititikberatkan kepada persen tumbuh, tolok ukur keberhasilan kegiatan tanam-menanam yang hanya pada persen tumbuh terutama pada jenis pohon lambat tumbuh (slow growth), seperti jati adalah sangat riskan untuk dijadikan acuan dalam penilaian yang dikaitkan dengan aspek perlindungan, baik cakupan secara lokal erosi dan sedimentasi maupun cakupan secara luas, suatu daerah aliran sungai. Tulisan ini akan mengkaji keragaan jati yang ditanam oleh masyarakat dalam kegiatan Gerhan/GN-RHL pada Sub DAS Samin
Detail |
|
10 |
Potensi Pengembangan Mamar Sebagai Model Hutan Rakyat Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis Di Timor Barat |
Gerson ND. Njurumana; Bayu Adrian Victorino; dan Pratiwi |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai penelitian Kehutanan Kupang |
2008 |
Pendekatan rehabilitasi lahan kritis di Timor Barat harus dilakukan secara holistik dengan memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Masalah yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan antara lain: kemiskinan, keterbatasan alternatif lapangan kerja, serta tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pertanian lahan kering dan hewan ternak. Laju percepatan lahan kritis pada beberapa DAS seperti DAS Benain Noelmina di Timor Barat sangat tinggi. Dengan demikian, pendekatan rehabilitasi lahan di Timor Barat harus dilakukan secara terpadu dan lebih spesifik dengan mengintegrasikan berbagai komponen yang saling mempengaruhi. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai alternatif rehabilitasi lahan melalui pengembangan hutan rakyat berbasis mamar. Metode pendekatan yang digunakan adalah observasi langsung terhadap karakteristik mamar, wawancara, dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem mamar berpeluang dikembangkan sebagai model hutan rakyat untuk mendukung rehabilitasi lahan. Keuntungan pengembangan mamar adalah diperolehnya dasar pengelolaan lahan kritis dengan menggunakan inisiatif lokal yang sesuai dengan karakteristik wilayah, sosial budaya dan kearifan lokal masyarakat, sehingga akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan rehabilitasi hutan dan lahan.
Detail |
|