No |
Judul |
Penulis |
Peneliti |
Unit Kerja |
Tahun |
Abstrak |
Dokumen |
61 |
Kelas Keawetan 200 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Penggerek Di Laut |
Mohammad Muslich & Ginuk Sumarni |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2005 |
Contoh representative dua ratus jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia diteliti sifat keawetannya terhadap serangan penggerek di laut. Masing-masing jenis kayu dibuat contoh uji berukuran 30 cm x 5 cm x 2.5 cm, dirakit dengan tali plastik dan dipasang di perairan Pulau Rambut serta diamati setelah 6 bulan. Dari hasil penelitian tersebut dibuat lima klasifikasi keawetan berdasarkan intensitas serangan pada masingmasing contoh uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua contoh uji mendapat serangan berat oleh Pholadidae dan Teredinidae. Lima dari 200 jenis kayu yang diteliti atau 2.5 persen tahan terhadap penggerek di laut, dimasukkan ke dalam katagori kelas awet I dan 10 jenis atau 5 persen dimasukkan ke dalam kelas awet II. Sementara itu, sisanya yang 26 jenis atau 13 persen termasuk kelas awet III, 50 jenis atau 25 persen termasuk kelas IV, dan 109 jenis atau 54.5 persen termasuk kelas V
Detail |
|
62 |
Kekuatan Dan Kekakuan Balok Lamina Dari Dua Jenis Kayu Kurang Dikenal |
Abdurachman dan Nurwati Hadjib |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2005 |
Balok lamina 3 dan 5 lapis berukuran 5cm x 5cm x 120 cm yang dibuat dari kayu Kaya (Khaya senegalensis (Desr.) A. Juss) dan kayu Bipa (Pterygota alata (Roxb.) R.Br.) dengan perekat phenol formadehida (PF) telah diuji sifat fisik dan mekaniknya di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor. Susunan pelaminasinya didasarkan pada nilai kekakuan (E) dari bilah penyusunnya. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kerapatan balok lamina 3 lapis lebih besar dari balok lamina 5 lapis maupun kayu solidnya. Rata-rata MOE, MOR dan MCS kayu Kaya lebih besar dari kayu Bipa. Balok lamina 3 lapis maupun 5 lapis setara dengan kelas kuat III – II.
Detail |
|
63 |
Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu |
Sihati Suprapti, Djarwanto dan Hudiansyah |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2004 |
Ketahanan lima jenis kayu yang berasal dari Jawa Barat diuji terhadap jamur menggunakan standar DIN 52176 yang dimodifikasi. Contoh uji kayu dibagi dalam dua kelompok secara radial, yaitu bagian tepi dan dalam dolok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu bengkal (Nauclea orientalis L.), mindi (Melia dubia Cav.) dan kayu bintaro (Cerbera sp.) termasuk kelompok kayu agak-resistan (kelas III), sedangkan kayu jaran (Lannea coromandelica Merr.) dan waru (Hibiscus tiliaceus L.) termasuk kelompok kayu tidak-resistan (kelas IV). Kehilangan berat kayu bagian dalam umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kayu bagian tepi. Kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu jaran bagian dalam yang diletakkan pada biakan jamur Coriolus versicolor (52,26%). Sedangkan kehilangan berat terendah terjadi pada kayu waru bagian dalam yang diletakkan pada biakan Pycnoporus sanguineus HHB-8149 (0,53%). Kemampuan melapukkan kayu tertinggi terjadi pada C. versicolor, kemudian diikuti P. sanguineus HHB-324, Tyromyces palustris, dan Polyporus sp.
Detail |
|
64 |
Ketahanan Tiga Jenis Kayu untuk Bantalan Rel Kereta Api Terhadap Jamur Perusak Kayu Secara Laboratoris |
Djarwanto dan Sihati Suprapti |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2004 |
Kayu untuk bantalan rel merupakan bahan yang belum dapat digantikan dengan produk lain terutama pada sambungan, simpangan dan jembatan. Akan tetapi, kayu yang telah terpasang untuk bantalan rel umumnya rawan terhadap serangan jamur pelapuk. Tiga jenis kayu yaitu bangkirai (Shorea laevis), meranti batu (Shorea platyclados) dan rasamala (Altingia exelsa) diuji terhadap jamur menggunakan standar DIN 52176 yang dimodifikasi dengan tujuan untuk mengetahui ketahanan kayu tersebut terhadap jamur pelapuk di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu bangkirai dan meranti batu termasuk kelompok kayu resisten (kelas II), sedangkan kayu rasamala termasuk kelompok kayu agak-resisten (kelas III). Kehilangan berat kayu rasamala lebih tinggi dibandingkan dengan kehilangan berat kayu bangkirai dan meranti batu. Kemampuan jamur untuk melapukkan kayu beragam menurut jenis kayu yang digunakan dan jenis jamur yang menyerangnya. Kemampuan melapukkan kayu yang tinggi didapatkan pada Pycnoporus sanguineus HHB-324, Schizophyllum commune, Polyporus sp., Trametes sp. dan Tyromyces palustris. Kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu rasamala yang diletakkan pada biakan P. sanguineus (15,89%) dan S. commune (15,32%).
Detail |
|
65 |
Sifat Anatomi dan Fisis Kayu Jati dari Muna dan Kendari Selatan |
Sri Rulliaty dan Mody Lempang |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2004 |
Secara tradisional masyarakat mengetahui bahwa kayu jati (Tectona grandis L.f) yang berasal dari Kabupaten Muna lebih baik daripada kayu sejenis yang berasal dari Kabupaten Kendari Selatan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap perbedaan tersebut secara anatomis dan fisis. Contoh uji diambil dari bagian pangkal, tengah, dan ujung batang kayu jati dengan kelas unur II dan III (18 dan 28 tahun) masing-masing dengan 2 (dua) ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap dimensi serat dan berat jenisnya. Hasilnya menunjukkan bahwa contoh kayu yang berasal dari Kabupaten Muna memiliki dimensi serat yang lebih besar daripada contoh kayu dari Kendari Selatan. Tampak jelas dalam penelitian ini bahwa kayu dari pohon yang berumur lebih tua (kelas umur III) memiliki karakteristik yang lebih baik daripada kayu yang berasal dari pohon lebih muda (kelas umur II).
Detail |
|
66 |
Anatomi Pepagan Pulai dan Beberapa Jenis Sekerabat |
Y. I. Mandang |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2004 |
Karakteristik anatomi pepagan pulai putih (Alstonia scholaris R.Br.), pulai hitam (Alstonia angustiloba Miq.) dan bintaro (Cerbera manghas L.) sudah diamati dan dipertelakan guna keperluan identifikasi jenis. Ketiganya diketahui telah lama digunakan sebagai sumber bahan baku obat tradisionil di Asia Tenggara. Pepagan ketiga jenis pohon tersebut mengeluarkan getah berwarna putih pada waktu ditetak; bagian dalam pepagan semuanya berwarna putih; permukaan luar pepagan Alstonia scholaris dan Cerbera manghas berwarna kelabu dan biasanya mengandung lentisel; permukaan luar epagan Alstonia angustiloba tanpa lentisel, berwarna coklat gelap, dan mengandung alur-alur longitudinal yang sempit dan dangkal. Komponen utama pepagan terdiri dari floem, parenkim, jari-jari, serat, sklereid dan periderm. Serat dijumpai berderet tangensial dekat kambium pada pepagan batang belia semua jenis kemudian terdorong keluar oleh aktivitas kambium dan terpencar sejalan dengan meningkatnya usia pohon. Sklereid jarang dan berdinding tipis tatkala pohon masih muda lalu bertambah banyak dan menebal dindingnya sejalan dengan bertambahnya usia pohon. Selanjutnya, beda utama struktur anatomi pepagan ketiga jenis pohon tersebut adalah pada morfologi sklereid. Sklereid A. scholaris berbentuk gemuk pendek, sklereid A. angustiloba berbentuk panjang gemuk, sedangkan sklereid Cerbera manghas berbentuk panjang langsing. Kunci identifikasi sementara disajikan.
Detail |
|
67 |
Sifat Pulp Sulfat Kayu Kurang Dikenal Asal Jawa Barat |
Rena M. Siagian, Setyani B. Lestari & Yoswita |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2004 |
Tulisan ini menyajikan hasil pembuatan pulp sulfat kayu kurang dikenal asal Jawa Barat untuk kemungkinan pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku pulp kertas ditinjau dari rendemen, sifat pengolahan dan sifat fisik lembaran pulp. Jenis kayu yang diteliti adalah marasi (Hymenaea courbaril L.), asam jawa (Tamarindus indica L.), balobo (Diplodiscus (?), kundang (Ficus variegata Bl.) dan kendal (Ehretia acuminata R.Br.). Kayu marasi (Hymenaea courbaril L.), asam jawa (Tamarindus indicaL.), kundang (Ficus variegata Bl.) dan kendal (Ehretia acuminata R.Br.) menghasilkan pulp dengan rendemen yang umum diperoleh dari proses sulfat yaitu berkisar antara 40 - 55%, sedangkan balobo(Diplodiscus (?) menghasilkan rendemen terendah, yaitu di bawah 40%. Tingkat kematangan pulp yang baik dengan bilangan Kappa rendah hanya diperoleh dari kayu asam jawa (Tamarindus indica L.), sedangkan empat jenis kayu lainnya menghasilkan tingkat kematangan yang rendah dengan bilangan Kappa tinggi. Apabila ditinjau dari rendemen, bilangan Kappa pulp,dan konsumsi alkali hanya kayu asam jawa (Tamarindus indica L.) yang dapat digunakan untuk membuat pulp putih. Empat jenis kayu lainnya tidak sesuai untuk menghasilkan pulp putih. Jika akan menghasilkan pulp putih dari keempat jenis kayu ini perlu diolah dengan meningkatkan kondisi pemasakan. Sifat fisik lembaran pulp belum putih dari kelima jenis kayu Jawa Barat yang diteliti menghasilkan indeks tarik berkisar 42 - 61 Nm/g, indeks sobek 6,52Nm2 /kg - 12,38 Nm2 /kg, indeks retak berkisar 2,47 - 3,20 KPa.m2 /g dan ketahanan lipat berkisar 3,64 - 8,16 kali lipat. Ditinjau dari sifat fisik lembaran pulp yang dihasilkan, yaitu meliputi indeks tarik, retak dan sobek, maka kayu balobo(Diplodiscus (?) menghasilkan sifat fisik paling tinggi diikuti kayu kundang (Ficus variegata Bl.) dan marasi (Hymenaea courbaril L.), sedangkan kayu asam jawa (Tamarindus indica L.) dan kendal (Ehretia acuminata R.Br.) menghasilkan sifat fisik paling rendah.
Detail |
|
68 |
Physical Properties Variation of Eucalyptus pellita in Seedling Seed Orchard Pleihari, South Kalimantan |
Siti Susilawati and Sri Noegroho Marsoem |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2006 |
This study shows an effort to obtain the best performance of Eucalyptus pellita trees, which was conducted by examining the physical properties of wood of 116 months age Eucalyptus pellita trees. The trees of various families used in this study were all grown in Seedling Seed Orchard (SSO), Pleihari. A total of 10 families with 3 individual trees for each family as replication were randomly selected for the whole SSO. Selected sample trees were felled, cut and divided into three different parts (bottom, middle and top) of the stem. Each stem part was then cut into wood samples running from pith to bark portion for the examination of its physical properties according to British Standard BS 373-1957. The collected data on those properties were analyzed by using a completely randomized design (CRD). The results showed that there were significant differences in wood density and fiber length among different height, and among wood sections from pith to bark in individual trees as well as among families. Wood density showed high family heritability (0.708) and genetic correlation between wood density and fiber length were significantly different (r = 0.543).
Detail |
|
69 |
Anatomical Changes of Light Coconut Wood (Cocos nucifera L.) Due to Steam-Press Densification |
Listya Mustika Dewi and Supartini |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
|
2006 |
Wood anatomy of P.S. Ashton was investigated in order to ensure this species belongs to yellow meranti group. Such study is very important since this species is already listed in the red list of IUCN and classified as critically endangered species. The microscopic slides were prepared according to the Johansen's method, while the anatomical features observed according to the IAWA List. The results show that wood exhibit brown heartwood, light brown sapwood, rough texture, straight grain sometimes interlocked and somewhat rough. The main microscopic characters are growth rings indistinct; vessel diffuse, mostly solitary, rounded to oval; simple perforation plate and alternate intervessel pits; parenchyma scanty paratracheal to thin vasicentric; axial intercellular canals in long tangential line, radial intercellular canal and vasicentric tracheids present; rays uniseriate and multiseriate, prismatic crystal in procumbent cells; fiber length 1,294 µm, diameter 26 µm and wall thickness 4 µm. Macroscopic and microscopic observation of wood confirms the species belongs to yellow meranti group. The assesment on fiber dimensions and derived values of the wood fibers classified the wood into class quality II. It indicates that this species is moderately favorable as raw material for pulp and paper manufacture
Detail |
|
70 |
Effect of Removing Oleoresin with Various Chemical Compounds in Physical/Mechanical Properties of Keruing Wood Dipterocarpus spp. |
Bambang Wiyono and Nurwati Hadjib |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan |
2007 |
Keruing ( spp.) was the second important wood export of Indonesia. Unfortunately, this wood contains oleoresin that hinders its utilization. Currently, the method used to remove oleoresin from keruing is by soaking it into bollied sodium salt solution. Result of this method is unsatisfactory because the residual heavy oleoresin might still appear on the wood surface. The study was conducted to determine suitable chemical compounds for removing oleoresin from keruing, and the effects on physical and mechanical properties of the wood. Four types of chemical compounds were tested, i.e. sodium chloride, oxalic acid, sulfuric acid, and nitric acid, each at the concentrations of 0.5 percent, 1.0 percent, and 1.5 percent. Wood samples were soaked in the boiling solution at different concentration level for seven hours. When the solution cooled down, the oleoresin exudated out of the wood samples was separated. The oleoresin was weighed for recovery determination after air dried, and the wood samples were cut into smaller-sized specimens for the physical and mechanical testing (MOE, MOR, compression parallel to grain, hardness and density). Results showed that sulfuric acid was the best chemical compound for removing oleoresin, and the higher the concentration the greater the oleoresin recovery. The second best chemical compound was nitric acid at an optimum concentration of one percent. The soaking of keruing in sulfuric acid and oxalic acid solution resulted in paler wood color compare with the untreated wood sample. Nitric acid solutions caused the color of the wood surface to turn into yellow brownish. The physical and mechanical properties (MOE, MOR, compression parallel to grain, hardness and density) of the oleoresin-removed keruing were slightly lower than the untreated (control) samples
Detail |
|