Dientry oleh Puslitbang Sosekjakpi - 21 April, 2021 - 718 klik
Menyongsong Kebangkitan Bambu Indonesia

" Semoga penyusunan Strategi Nasional Pengembangan Bambu Terintegrasi Hulu-Tengah-Hiilir ini menjadi momentum bagi kebangkitan bambu di Indonesia "

[FORDA]_Bambu Indonesia tengah memasuki episode baru. Sebuah dokumen strategi nasional (stranas) sedang disiapkan. Dokumen ini akan menjadi acuan bersama lintas sektor dan para pemangku kepentingan, dalam pengembangan bambu terintegrasi hulu-tengah-hilir di Indonesia. 

“Semoga penyusunan stranas ini menjadi momentum bagi kebangkitan bambu di Indonesia,” ujar, Dr. Agus Justianto, Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi (BLI), dalam sambutannya pada acara Focus Group Discussion (FGD) Draf Nol Stranas Bambu lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang dilaksanakan secara virtual, Jumat (15/4). 

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi KLHK memprakarsai penyusunan draf stranas tersebut. Tim studi dibentuk untuk mengkaji pengembangan bambu terintegrasi mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi, lingkungan, kebijakan dan regulasi. Beranggotakan para peneliti dan analis kebijakan dengan berbagai bidang kepakaran, Tim telah menghasilkan draft nol Stranas Bambu pada awal April 2021. 

“Draf nol Strategi Nasional Pengembangan Bambu Indonesia berfokus pada bagaimana mengintegrasikan lintas sektor hulu, tengah dan hilir, dengan tetap berbasis pada masyarakat yang telah menjadi bagian dari pengelolaan dan pemanfaatan bambu,” jelas Agus, dalam FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI), BLI KLHK. 

Ia menegaskan bahwa menjadi keharusan bagi KLHK yang memiliki kewenangan pada sektor hulu dan tengah, untuk bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan. Semua unsur sangat penting, baik kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, para penggiat dan juga pegiat, serta pelaku usaha bambu pada semua sektor, termasuk sektor hilir. 

Upaya tersebut menurut Agus, dilakukan untuk bersama-sama mewujudkan bambu sebagai sumber daya alam yang dapat menggerakkan ekonomi sekaligus meningkatkan kuallitas lingkungan hidup di Indonesia.  

Pada pertemuan virtual tersebut, draf Stranas Bambu mendapat masukan dari seluruh eselon 1 terkait lingkup KLHK. Masukan juga diterima dari para peneliti, analis kebijakan, dan widyaiswara yang bergabung dalam FGD yang dihadiri oleh sekitar 110 orang tersebut. 

Masukan penting yang mengemuka adalah, bahwa Stranas Bambu harus mencakup seluruh aspek pengembangan. Mulai dari budidaya hingga pemasaran dan kelembagaan, yang didukung oleh pengembangan produk kreatif yang terus menerus berbasis teknologi dan inovasi, baik produk dan jasa lingkungan (tata air, serapan karbon). 

Data bambu Indonesia juga menjadi sorotan dalam FGD ini. Ketersediaan data yang akurat adalah kebutuhan untuk penyusunan rencana pengembangan bambu. Untuk itu inventarisasi potensi dan sebaran bambu nasional menjadi rekomendasi penting dalam stranas ini.  

Dari FGD ini juga mengemuka perlunya penguatan kelembagaan pengembangan bambu lintas sektor. Di antaranya penguatan kapasitas 4P (people, public, private, partnership), agar strategi program pengembangan bambu dapat dilakukan secara berkesinambungan dan terarah. 

Ketersediaan regulasi untuk mendukung pengembangan bambu lintas sektor juga sangat krusial. Selain melengkapi peraturan sektoral yang sudah tersedia saat ini, regulasi tersebut akan menjadi arahan implementasi Stranas Bambu dan juga mengatur peran para pemangku kepentingan lintas sektor. Regulasi ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan implementasi Stranas Bambu ke depan.  

Terkait Stranas Bambu, Agus mengungkapkan bahwa sebelumnya Indonesia pernah memiliki Strategi Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) pada akhir 1997. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Sarwono Kusumaatmadja, Menteri LH periode 1993-1998. Namun dalam implementasinya terkendala karena situasi resesi negara pada 1998. 

“Bapak Sarwono meminta kita mereviu kembali dokumen stranas tersebut dan menyusun Stranas Bambu Indonesia dengan menyesuaikan perkembangan yang ada saat ini, baik di tingkat nasional dan global,”jelas Agus. 

Untuk finalisasi draf Strategi Nasional Pengembangan Bambu Terintegrasi Hulu-Tengah-Hilir ini, Kementerian LHK tengah menjaring masukan dari berbagai pihak. FGD lingkup Kementerian LHK ini adalah langkah awal. Hasilnya akan dibawa ke dalam FGD mitra lingkup KLHK, FGD lintas Kementerian/Lembaga, serta finalnya dalam konsultasi publik yang lebih luas. Penyusunan Stranas Bambu ini juga mendapat dukungan dari ICRAF, ACIAR dan Yayasan Bambu Lestari (YBL). 

Baca juga: Pemerintah Kembangkan Strategi Nasional Industri Bambu Rakyat  

Optimisme Pengembangan Bambu 

Optimisme tentang pengembangan bambu berangkat dari menguatnya perspektif banyak pihak tentang bambu. Jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) ini, kini tidak lagi sebatas bernilai sejarah perjuangan di masa lampau serta nilai budaya dan religi, melainkan juga terbukti memiliki nilai ekologi, lingkungan dan ekonomi yang menjanjikan. 

Dalam COP 21 UNFCCC, di Paris, Perancis, sebuah gerakan membangun desa bambu disosialisasikan dalam sesi berjudul “A Bamboo Climate Change Resilience Strategy for Indonesia: Through Supporting 1000 Bamboo Villages”, di Paviliun Indonesia, 10 December 2015. Sejak itu, Gerakan 1.000 Desa Bambu berjalan dengan target jangka panjang 25-30 tahun mencakup seluruh wilayah Indonesia. 

Daerah yang menjadi percontohan di mana industri bambu rakyat yang sudah berjalan dengan dukungan para pihak terdapat di Kabupaten Ngada, Provinsi NTT. Kementerian LHK bersama-sama dengan Yayasan Bambu Lestari serta didukung Pemerintah Daerah dan parapihak menjadikan Kabupaten Ngada sebagai “Pusat Unggulan Industri Bambu Rakyat”. 

Indonesia diperkirakan memiliki 1 juta hektar lebih tanaman bambu, namun, hanya 25.000 hektar yang telah dikelola dalam bentuk hutan/kebun bambu, sementara sisanya tumbuh secara sporadis. Bekerja sama dengan Yayasan Bambu Lestari, The International Tropical Timber Organization (ITTO) dan BLI KLHK menginisiasi suatu model pengelolaan dan pemanfaatan bambu berbasis industri rakyat  melalui Gerakan 1.000 Desa Bambu.  

Baca juga: Gerakan 1.000 Desa Bambu untuk Lingkungan dan Kesejahteraan 

Kemudian, BLI KLHK melanjutkan upaya pencapaian 1000 Desa Bambu melalui kerja sama Kanoppi fase 2 (Kanoppi-2). Kerjasama Kanoppi merupakan singkatan dari kayu-non kayu produksi dan pemasarannya didukung oleh The World Agroforestry Center (ICRAF) dan Australian Center for International  Agroforestry Research (ACIAR), sejak Agustus 2018 dan akan berakhir pada Desember 2021. 

Kanoppi-2 dilakukan bertujuan untuk memperkuat Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dengan menjadikannya sebagai Pusat Unggulan Industri Bambu Rakyat di Indonesia. Dalam upaya itu, bersama-sama dengan Yayasan Bambu Lestari, BLI mengembangkan dan mempromosikan wanatani bambu berbasis pasar untuk usah kecil menengah di Indonesia, termasuk mengawal dan mendampingi Kabupaten Ngada dan kelompok-kelompok masyarakatnya. 

Baca juga: Kontribusi BLI dalam Kerjasama KANOPPI 2: Sistem Agroforestri Berbasis Pasar dan Lansekap Terpadu

Badan Litbang dan Inovasi KLHK telah melakukan penelitian dan pengembangan bambu yang akan menjadi dasar pengembangan bambu Indonesia pada masa yang akan datang. Dengan teknologi dan inovasi, produk rekayasa bambu dapat menjadi pengganti kayu yang kekuatannya dapat setara dengan kayu jati. Pemanfaatan bambu juga berkembang untuk arang aktif dan cuka kayu. Bahkan diketahui bahwa arang bambu yang diolah menjadi karbon porous ternyata bermanfaat untuk pengobatan kanker.

Bambu juga memiliki nilai jasa lingkungan yang beragam. Dengan kemampuan serapan karbonnya, bambu mampu berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim, termasuk berpeluang meraih insentif dari pengurangan emisi karbon dunia. 

Penggunaan bambu untuk merestorasi lahan marginal dan kritis serta konservasi tanah dan air juga sangat menjanjikan. Apalagi jika payment for ecosystem services dapat diimplementasikan dengan mekanisme yang sederhana. Hal ini akan memberikan manfaat yang berlipat baik dari aspek keuntungan langsung berupa produk bambu, serta nilai jasa lingkungan tata air dan serapan karbon termasuk wisata alam bambu.  

Dengan keberagaman manfaat bambu tersebut serta dukungan teknologi dan inovasi, jenis HHBK ini diyakini dapat menjadi komoditas penggerak ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Indonesia ke depan. 

Oleh karenanya, Kementerian LHK terus mendorong pengembangan potensi HHBK Indonesia.  Seiring perkembangan revolusi industri 4.0, HHBK diarahkan masuk dalam industri multibisnis kehutanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.  Harapannya, HHBK baik dari aspek produk maupun jasa lingkungan, akan menjadi salah satu tulang punggung baru perekonomian Indonesia dengan tetap melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.*(DWH)

Photo credit: Proyek Kanoppi-2

Feature image: Tegakan bambu bheto di salah satu lahan Sa'o di Desa Dadawea (Photo: Budiyanto Dwi Prasetyo, P3SEKPI)

Informasi lebih lanjut:
Pusat Litbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim dan Proyek Kanoppi-2
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, West Java Indonesia Telp: (0251) 8634944 | Fax : (0251) 8634924 Email : puspijak.online@gmail.com

 

Penulis : Djati Witjaksono Hadi
Editor : Dyah Puspasari