No |
Judul |
Penulis |
Peneliti |
Unit Kerja |
Tahun |
Abstrak |
Dokumen |
51 |
Study on Genetic Variation and Relationships Among Four Acacia Species Using RAPD and SSCP Marker |
Anthonius Y.P.B.C. Widyatmoko, Atsushi Watanabe, and Susumu Shiraishi |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan |
2010 |
Genetic diversity and relationship of four Acacia species, Acacia aulacocarpa, A. Cunn. ex Benth., A. auriculiformis Cunn. ex Benth., A. crassicarpa Cunn. ex Benth. and A. mangium Willd. were investigated using DNA molecular markers. Using RAPD analysis, a total of 20 arbitrary primers successfully gave 127 polymorphic fragments. These RAPD data were used to estimate genetic distance and construct dendrograms using the unweighted pair-group with the arithmetic mean average (UPGMA) method. The four species were divided into two major clusters. A. auriculiformis and A. mangium were in one cluster, and the other cluster contained both A. aulacocarpa and A. crassicarpa. The divergence time of the two species (A. auriculiformis and A. mangium) in the former cluster appeared to be relatively early in comparison to in the latter (A. aulacocarpa and A. crassicarpa) based on RAPD data. This result was also supported by Principal Component Analysis (PCA). Among the four species, A. aulacocarpa showed the highest divergence in nuclear DNA (ncDNA), followed by A. auriculiformis. SSCP analysis also revealed that these two species possessed a haplotypic variation of the trnL-trnF intergenic spacer region of chloroplast DNA. In A. aulacocarpa, a large difference in the composition of both nuclear and chloroplast genomes was observed between populations distributed in Queensland, Australia and those in New Guinea Island. In contrast, compared to the other species, A. mangium showed the lowest genetic diversity and less genetic differentiation among populations
Detail |
|
52 |
Sequence Polymorphisms of Four Chloroplast Genes in Four Acacia Species |
Anthonius Y.P.B.C. Widyatmoko and Susumu Shiraishi |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan |
2011 |
Sequence polymorphisms among and within four Acacia species, A. aulacocarpa, A.auriculiformis, A. crassicarpa, and A. mangium, were investigated using four chloroplast DNA genes (atpA, petA, rbcL, and rpoA). The phylogenetic relationship among these species is discussed in light of the results of the sequence information. No intraspecific sequence variation was found in the four genes of the four species, and a conservative rate of mutation of the chloroplast DNA genes was also confirmed in the Acacia species. In the atpA and petA of the four genes, all four species possessed identical sequences, and no sequence variation was found among the four Acacia species. In the rbcL and rpoA genes, however, sequence polymorphisms were revealed among these species. Acacia aulacocarpa and A. crassicarpa shared an identical sequence, and A. auriculiformis and A. mangium also showed no sequence variation. The fact that A. mangium and A. auriculiformis shared identical sequences as did A. aulacocarpa and A. crassicarpa indicated that the two respective species were extremely closely related. Although a putative natural hybrid of A. aulacocarpa and A. auriculiformis has been reported, our results suggested that natural hybridization should be further verified using molecular markers
Detail |
|
53 |
Fertility Variation and Effective Population Size In A Teak Clonal Seed Orchard |
Sumardi |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
BPK Kupang |
2011 |
A 27 year old clonal seed orchard of teak (Tectona grandis L.f ) in Padangan, East Java comprising 24 clones, was evaluated for fertility, offspring diversity, and genetic drift. Flower and fruit productions were used to assess clone fertility in the orchard. Fertility variation measured as ‘sibling coefficient’ was found to be 1,62, having high genetic diversity (0,97) and low coancestry (0,03). The clones varied in fertility in which, 25 % of the most fertile clones in the orchard contributed to 47,5 % of flower and fruit yields. Effective population size in the orchard was 15, indicating that 15 of the clones contributed effectively to seed yield. Separating on the amounts of seeds that can be collected, individual collection, and proportional mixing of seed per clone might be useful in restricting over representation of highly reproductive clones thereby increasing genetic diversity in the seed crop. Another way to improve seed yield in the orchard is by increasing the effective population size. Thinning or prunning on highly reproductive clones might be useful in increasing effective population size.
Detail |
|
54 |
UPAYA INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DARI POTONGAN DAUN RAMIN |
Dra. Yelnititis, MSi dan Ir. Tajudin Edi Komar, MSc |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Puskonser |
2010 |
Ramin (Gonystylus spp.) merupakan salah satu genus penghasil kayu yang banyak diminati untuk diperdagangkan. Tanaman ini tumbuh di daerah hutan rawa gambut. Terdapat lebih dari 20 jenis yang termasuk ke dalam genus ini dan paling paling banyak dieksploitasi. Sejak tahun 2004 jenis ini sudah dimasukkan ke dalam APPENDIX II CITES. Perbanyakan tanaman ramin dapat dilakukan secara generatif dengan menggunakan biji namun benihnya sulit ditemukan. Selain itu ramin juga dapat diperbanyak secara vegetatif konvensional. Upaya pembentukan kalus embriogenik dari eksplan potongan daun telah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta dari bulan Februari sampai bulan Mei 2010. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) dijadikan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap induksi dan perbanyakan kalus, tahap induksi kalus friabel dan tahap induksi kalus embriogenik. Perlakuan yang diuji untuk induksi kalus adalah penggunaan 2,4-D (3.0 – 5.0 mg/l). Kalus yang diperoleh diperbanyak pada perlakuan terbaik dan kombinasi dengan thidiazuron (1.0 – 2.0 mg/l). Untuk induksi kalus friabel diberikan perlakuan 2,4-D 6.0 mg/l dikombinasikan dengan thidiazuron dan atau biotin. Untuk induksi kalus embriogenik diberikan perlakuan 2,4-D (7.0 – 8.0 mg/l) dan kombinasi dengan biotin (1.0 – 2.0 mg/l). Pengamatan dilakukan terhadap waktu induksi kalus dan penampakan biakan kalus secara visual. Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kalus dapat diinduksi dari perlakuan 2,4-D 5 mg/l. Kalus semi friabel dapat dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 5 mg/l dikombinasikan dengan thidiazuron dengan pertumbuhan cepat. Perlakuan 2,4-D 6.0 mg/l dikombinasikan dengan thidiazuron merupakan perlakuan yang dapat menghasilkan kalus friabel. Dari perlakuan 2,4-D dengan biotin dihasilkan kalus dengan struktur sangat friabel, berwarna putih kekuningan dan belum embriogenik.
Detail |
|
55 |
PENGARUH PERIODE DAN RUANG SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH KAYU BAWANG |
Hengki Siahaan, Nanang Herdiana, dan Teten Rahman S. |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusprohut |
2008 |
PENGARUH PERIODE DAN RUANG SIMPAN TERHADAP
PERKECAMBAHAN BENIH KAYU BAWANG
The Effect of Period and Room Storage on Germination of Kayu Bawang Seed
Hengki Siahaan, Nanang Herdiana, dan Teten Rahman S.
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Kotak Pos 179, Puntikayu, Palembang, Telp./Fax. (0711) 414864
ABSTRACT
Kayu bawang (Disoxylum amorooides Miq.) is a potensial species at Kaur Regency, Bengkulu Province, however, seed viability of this species can decrease highly. This research was aimed to determine the period and room storage effect on kayu bawang seed germination and designed in completely random factorial design experiment. The treatment factor consist of five periods of storage for 0, 1, 2, 3, and 4 weeks and two rooms storage for refrigerator and ambient room. The result showed that viabilty of kayu bawang decreased significantly following the periods of storage. The germination percentage decreased 55,5% after 4 weeks storage but the germination speed increased for 9,1 days. Seed storage in the refrigerator increased the germination percentage for 5,8% from that of in the ambient room but decreased the germination speed for 1,5 days.
Kata Kunci : Kayu bawang (Disoxylum amorooides Miq.), germination, period, and room storage
ABSTRAK
Kayu bawang (Disoxylum amorooides, Miq.) merupakan salah satu jenis potensial di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, namun demikian viabilitas benihnya dapat mengalami penurunan yang sangat cepat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode dan ruang simpan terhadap perkecambahan benih kayu bawang dan dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Perlakuan terdiri atas lima taraf periode simpan yaitu 0, 1, 2, 3 dan 4 minggu dan dua taraf ruang simpan yaitu lemari es dan ruang suhu kamar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas kayu bawang menurun secara nyata seiring lamanya periode simpan. Daya berkecambah menurun 55,5 % setelah penyimpanan selama 4 minggu tetapi kecepatan berkecambah meningkat sebesar 9,1 hari. Penyimpanan benih di refrigerator meningkatkan daya berkecambah sebesar 5,8 % dibandingkan dengan ruang suhu kamar tetapi terjadi penurunan kecepatan berkecambah sebesar 1,5 hari.
Kata Kunci : Kayu bawang (Disoxylum amorooides, Miq.), perkecambahan, periode dan ruang simpan
- I. PENDAHULUAN
Pengembangan jenis potensial lokal merupakan langkah strategis dalam pengembangan hutan tanaman, baik dalam skala HTI maupun hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Kayu bawang (Disoxylum amorooides, Miq.) famili Meliaceae merupakan jenis potensial di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Masyarakat telah memanfaatkan kayu jenis ini sebagai bahan bangunan sehingga tegakan alaminya telah banyak ditebang tetapi upaya untuk membudidayakannya belum banyak dilakukan karena belum diketahui bagaimana teknik budidayanya.
Kayu bawang merupakan salah satu jenis rekalsitran, yaitu benih yang cepat mengalami penurunan viabilitas. Jenis benih rekalsitran dan jenis intermediate seperti benih bambang lanang (Madhuca aspera H.J. Lam.) merupakan benih yang tidak dapat disimpan tanpa perlakuan tertentu. Lamanya tipe benih-benih ini dapat disimpan dan bagaimana teknik penyimpanannya penting untuk diketahui apabila benih yang diperoleh pada saat musim buah memerlukan penundaan pengecambahan, misalnya untuk menunggu musim hujan sebagai waktu yang tepat untuk penanaman, maupun untuk melakukan penanaman pada daerah yang jauh dari lokasi pengumpulan benih. Dalam hal ini, benih yang disimpan akan berfungsi sebagai penyangga antara permintaan dan produksi benih.
Periode penyimpanan benih dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan faktor teknis. Pada umumnya viablilitas benih dapat dipertahankan dalam waktu yang lama jika benih disimpan pada kondisi lingkungan yang optimal, terutama faktor suhu dan kelembaban ruang penyimpanan benih. Meskipun demikian, ada beberapa jenis benih yang hanya dapat bertahan dalam waktu yang relatif sangat pendek karena faktor fisiologis benih yang kurang mendukung. Keterbatasan pengetahuan dan informasi tersebut di atas pada jenis kayu bawang mendorong perlunya dilakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh periode dan ruang simpan terhadap perkecambahan jenis kayu bawang. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk menjaga persediaan benih bermutu dan mengatur strategi pemanfaatan benih untuk kebutuhan penanaman.
- II. BAHAN DAN METODE
- A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca dan Laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang sebagai tempat pengecambahan dan penyimpanan benih. Penelitian dimulai pada bulan Januari sampai Maret 2006.
- B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kayu bawang, lemari es (suhu 15 0C, kelembaban 75-80%), ruang suhu kamar, thermometer bola basah - bola kering, pasir sungai, top soil, bak kecambah, label dan handsprayer.
- C. Metode Penelitian
1. Pengumpulan dan Ekstraksi Benih
Benih kayu bawang diperoleh dari pohon induk yang terdapat di desa Way Hawang, Kecamatan Kaur Selatan, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Pengumpulan benih dilakukan dengan metode pemanjatan pohon induk. Buah yang diperoleh kemudian dikumpulkan lalu dikemas di dalam kardus agar mudah dalam pengangkutan.
Ekstraksi benih dilakukan dengan cara mengupas kulit benih secara manual kemudian, daging buah yang masih melekat pada benih dibersihkan dengan cara membilasnya dalam air. Benih hasil ekstraksi kemudian dikeringanginkan dalam ruang suhu kamar selama 24 jam untuk selanjutnya diukur kadar airnya dengan metode oven (suhu 70oC selama 72 jam). Benih yang diperoleh kemudian diseleksi untuk mendapatkan benih yang baik dan seragam untuk disimpan dan dikecambahkan sesuai dengan perlakuan yang diterapkan.
2. Penaburan Benih
Media tabur yang digunakan adalah pasir sungai dan top soil dengan perbandingan 1 : 1 (v/v). Sterilisasi media dilakukan dengan metode solarisasi yaitu dengan menjemur media di bawah sinar matahari selama 4-5 jam. Sebelum benih ditabur, media disiram dengan air hingga jenuh lalu dibuat larikan untuk penaburan benih. Benih kemudian dibenamkan pada larikan hingga sebagian besar benih berada dalam media dan bagian benih yang masih terlihat ditutup kembali dengan pasir.
3. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan faktorial dalam pola acak lengkap. Perlakuan yang diuji adalah periode simpan (P) yang terdiri dari 5 taraf dan ruang simpan (R) yang terdiri dari 2 taraf. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali.
Perlakuan periode simpan terdiri atas :
- P0 : Periode simpan 0 minggu
- P1 : Periode simpan 1 minggu
- P2 : Periode simpan 2 minggu
- P3 : Periode simpan 3 minggu
- P4 : Periode simpan 4 minggu
Perlakuan ruang simpan terdiri atas :
- R1 : Lemari es (Suhu : 15o C, Kelembaban relatif : 75-80%) )
- R2 : Ruang simpan suhu kamar (Suhu : 28-33 oC, Kelembaban relatif : 72-90%)
Analisis data yang dilakukan adalah analisis varian. Jika hasil analisis varian terhadap parameter-parameter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata akan dilakukan uji lanjut jarak berganda Duncan (DMRT).
4. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan meliputi daya berkecambah (%), kecepatan berkecambah (hari) dan keserempakan tumbuh (%). Daya berkecambah dihitung sebagai persentase kecambah normal terhadap banyaknya benih yang ditabur. Kecepatan berkecambah dihitung berdasarkan jumlah penambahan kecambah setiap hari dan keserempakan tumbuh dihitung sebagai persentase jumlah kecambah yang muncul selama satu minggu pada saat puncak perkecambahan terjadi (Sadjad, 1993). Rumus-rumus untuk ketiga parameter tersebut adalah sebagai berikut :
DB (%)
|
=
|
Jumlah kecambah normal
|
x 100 %
|
Jumlah benih yang ditabur
|
Kct
|
=
|
n1h1 + n2h2 + ......... nihi
|
|
n1 + n2 + ............ ni
|
Kst
|
=
|
Jumlah KP
|
|
Jumlah benih yang ditabur
|
Keterangan :
DB : Daya berkecambah (%)
Kct : Kecepatan berkecambah (hari)
ni : Jumlah benih yang berkecambah pada hari ke-i
hi : Jumlah hari yang diperlukan untuk mencapai jumlah kecambah ke-i
Kst : Keserempakan tumbuh
K P : Kecambah pada puncak perkecambahan
- III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis varian terhadap parameter perkecambahan pada penyimpanan benih kayu bawang (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan periode simpan berpengaruh sangat nyata terhadap ketiga parameter perkecambahan, sedangkan perlakuan ruang simpan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter daya berkecambah dan kecepatan berkecambah. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter kecepatan dan keserempakan tumbuh.
Tabel (Table) 1. Hasil analisis varian daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kayu bawang. (Result of variance analysis for germination percentage, germination rate and growth uniformity of kayu bawang seed)
Sumber keragaman
|
Daya berkecambah (Germination percentage)
|
Kecepatan berkecambah (Germination rate)
|
Keserempakan tumbuh (Growth uniformity)
|
KT
|
F. Hit.
|
KT
|
F. Hit.
|
KT
|
F. Hit.
|
Periode simpan
(Storage period)
|
3927,35
|
155,44 **
|
108,69
|
314,87 **
|
1246,88
|
46,18 **
|
Ruang simpan
(Storage room)
|
336,40
|
13,31 **
|
22,71
|
65,79 **
|
17,88
|
0,66 ns
|
Interaksi (Interaction)
|
60,65
|
2,40 ns
|
6,55
|
18,99 **
|
209,22
|
7,75 **
|
Galat (Error)
|
25,27
|
|
0,35
|
|
27,00
|
|
Catatan (Note): ns = Tidak nyata (not significant)) ** = Sangat nyata (very significant) (1%)
- A. Periode Simpan
Penurunan viabilitas benih kayu bawang terjadi relatif cepat selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan menurunnya daya berkecambah (Tabel 2). Daya berkecambah menurun sebesar 55,5% setelah disimpan selama 4 minggu. Berdasarkan kondisi ini dan kadar air setelah proses ekstraksi yaitu sebesar 60% yang merupakan kadar air benih pada saat akan disimpan, diduga bahwa benih ini termasuk dalam tipe benih rekalsitran. Penurunan viabilitas benih kayu bawang ini lebih besar dibanding penurunan viabilitas benih bambang lanang (Madhuca aspera, H.J. Lam.) yang mengalami penurunan daya berkecambah sebesar 42,5% setelah disimpan selama periode yang sama (Siahaan dkk, 2006). Hal ini diduga karena kulit benih bambang lanang yang lebih keras dibandingkan kayu bawang. Zanzibar (2003) menyatakan bahwa struktur dan komponen penyusun kulit benih juga mempengaruhi daya simpan benih. Kulit benih yang keras dan permiabel akan lebih memungkinkan benih bertahan terhadap pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan luar.
Benih-benih dengan tipe intermediate dan rekalsitran peka terhadap pengeringan. Kadar air terendah yang aman untuk benih rekalsitran adalah 60-70% dan 12-17% untuk beberapa jenis intermediate. Kadar air benih yang tinggi memungkinkan benih aktif bermetabolisme ketika benih masak dan selama penyimpanan. Metabolisme yang terjadi akan menurunkan cadangan makanan dalam benih sehingga proses ini akan menurunkan viabilitas benih (Schmidt, 2002).
Tabel (Table) 2. Pengaruh periode simpan terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kayu bawang (Effect of storage period on germination percentage, germination rate and growth uniformity of kayu bawang seed)
Periode simpan (Storage period) (Minggu) (Week)
|
Daya berkecambah (Germination percentage) (%)
|
Kecepatan berkecambah
(Germination rate) (hari)
|
Keserempakan tumbuh (Growth uniformity)
(%)
|
0
|
91,00 a
|
30,66 e
|
63,15 c
|
1
|
84,00 b
|
26,55 d
|
53,24 d
|
2
|
83,25 b
|
22,46 b
|
68,28 bc
|
3
|
70,25 c
|
23,62 c
|
72,50 b
|
4
|
35,50 d
|
21,61 a
|
87,11 a
|
Catatan (Note) : Nilai pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% bedasarkan uji jarak berganda Duncan (values in collums followed by the same letter are not significantly different at level of 1 % on DMRT)
Parameter kecepatan berkecambah benih kayu bawang cenderung mengalami peningkatan dengan semakin lamanya benih disimpan. Pada Tabel 2 terlihat bahwa kecepatan berkecambah benih kayu bawang dapat diperpendek 9,1 hari setelah benih disimpan selama 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa pada jenis kayu bawang terjadi pemasakan biji setelah pemasakan buah (after ripening) yang berarti bahwa biji masih mengalami proses pemasakan pada saat penyimpanan. Pada konsepsi Steinbauer dalam Sadjad (1993), penyimpanan benih setelah pemanenan merupakan fase A yang berawal dari benih matang morfologi sampai benih matang untuk berkecambah sehingga periode simpan yang lebih lama akan mempercepat waktu berkecambah. Parameter keserempakan tumbuh juga cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan karena selama periode penyimpanan tersebut keseluruhan benih justru mempersiapkan diri untuk berkecambah.
- B. Ruang Simpan
Penyimpanan benih kayu bawang di lemari es dapat meningkatkan daya berkecambah hingga 5,80% dibanding pada ruang suhu kamar. Hal yang lebih nyata terjadi pada penyimpanan benih bambang lanang pada ruang AC yang meningkatkan daya berkecambah sebesar 25% (Siahaan dkk, 2006). Fakta ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada ruang simpan dengan suhu yang lebih rendah akan lebih baik untuk mempertahankan viablilitas benih. Aktivitas serangga dan jamur pada proses perkecambahan dapat terhambat pada suhu yang rendah sehingga penyimpanan pada kondisi ini dapat mencegah kerusakan benih akibat metabolisme serangga dan jamur. Nurhasybi dkk (2003) juga menyebutkan bahwa semakin tinggi suhu ruang simpan maka laju perombakan cadangan makanan dan laju respirasi makin tinggi pula, yang mempercepat terjadinya proses kemunduran benih.
Selain suhu yang rendah, kestabilan suhu dan kelembaban pada lemari es ataupun pada ruang AC akan lebih baik untuk mempertahankan viabilitas benih karena viabilitas benih akan dapat dipertahankan lebih lama bila disimpan pada kondisi suhu dan kelembaban yang konstan dibanding pada kondisi yang fluktuatif (Schmidt, 2002).
Tabel (Table) 3. Pengaruh ruang simpan terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kayu bawang (Effect of storage room on germination percentage, germination rate and growth uniformity of kayu bawang seed)
Ruang simpan (Storage room)
|
Daya berkecambah (Germination percentage) (%)
|
Kecepatan berkecambah
(Germination rate)
(hari)
|
Keserempakan tumbuh (Growth uniformity)
(%)
|
Lemari es
(Refrigerator)
|
75,70 a
|
25,74 b
|
68,19 a
|
Ruang suhu kamar (Ambient room)
|
69,90 b
|
24,23 a
|
69,53 a
|
Catatan (Note) : Nilai pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% bedasarkan uji jarak berganda Duncan (values in collums followed by the same letter are not significantly different at level of 1 % on DMRT)
Penyimpanan benih pada suhu rendah akan lebih baik dalam mempertahankan viablilitas benih, namun perlu diperhatikan bahwa suhu rendah dapat mengakibatkan kerusakan benih. Oleh karena itu, benih harus disimpan pada suhu serendah mungkin untuk mencegah atau menghambat perkecambahan, akan tetapi tidak sampai berdampak pada kerusakan benih..
Kecepatan berkecambah benih yang disimpan di ruang suhu kamar lebih cepat 1,51 hari dibanding lemari es. Hal ini berarti bahwa proses pemasakan benih pada ruang suhu kamar terjadi lebih cepat dibanding pada lemari es. Suhu yang rendah pada lemari es diduga akan menghambat proses pemasakan benih sehingga mengurangi kecepatan berkecambah benih.
- C. Interaksi Antar Perlakuan
Interaksi antara periode dan ruang simpan berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh kayu bawang. Pada Tabel 4 terlihat bahwa laju penurunan daya berkecambah benih kayu bawang cenderung sama pada lemari es maupun pada ruang suhu kamar. Hal yang berbeda terjadi pada parameter kecepatan berkecambah. Kecepatan berkecambah benih yang disimpan di ruang suhu kamar (R2) pada periode simpan 1 sampai dengan 2 minggu lebih besar dibanding penyimpanan pada lemari es (R1), tetapi pada periode simpan 3 sampai dengan 4 minggu (P3 dan P4) kecepatan berkecambah menunjukkan nilai yang relatif sama (Gambar 1). Hal ini diduga karena proses pemasakan benih (after ripening) kayu bawang di ruang suhu kamar terjadi lebih cepat dibanding pada lemari es. Suhu yang rendah pada awal penyimpanan diduga dapat menghambat proses pemasakan benih.
Fluktuasi nilai keserempakan tumbuh kayu bawang pada berbagai periode simpan di lemari es (R1) lebih besar dibanding penyimpanan pada ruang suhu kamar (Gambar 2). Suhu yang rendah pada lemari es pada awalnya akan menurunkan keserempakan tumbuh yang berarti bahwa respon benih terhadap suhu yang rendah pada awal penyimpanan (P1) tidak seragam, tetapi pada periode simpan berikutnya (P2, P3 dan P4), respon benih menjadi lebih seragam. Hal ini juga menunjukkan bahwa suhu yang rendah pada penyimpanan kayu bawang pada awalnya akan menghambat perkecambahan benih, tetapi pada penyimpanan yang lebih lama (hingga 4 minggu) perkecambahan akan normal kembali.
Tabel (Table) 4. Pengaruh interaksi periode dan ruang simpan terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kayu bawang (Effect of interaction between storage period and storage room on germination percentage, germination rate and growth uniformity of kayu bawang seed)
Ruang simpan (Storage room)
|
Periode Simpan (Storage period) (Minggu) (Week)
|
Daya berkecambah (Germination percentage) (%)
|
Kecepatan berkecambah
(Germination rate)
(hari)
|
Keserempakan tumbuh (Growth uniformity)
(%)
|
Lemari es
(Refrigerator)
|
0
|
91,0
|
30,67 e
|
63,15 cd
|
1
|
85,5
|
28,52 d
|
44,98 e
|
2
|
85,0
|
23,93 bc
|
74,11 b
|
3
|
74,5
|
23,97 bc
|
70,56 bc
|
4
|
42,5
|
21,61 bc
|
88,14 a
|
Ruang suhu kamar (Ambient room)
|
0
|
91,0
|
30,67 e
|
63,15 cd
|
1
|
82,5
|
24,59 c
|
61,49 d
|
2
|
81,5
|
20,99 a
|
62,46 cd
|
3
|
66,0
|
23,28 b
|
74,44 b
|
4
|
28,5
|
21,61 a
|
86,09 a
|
Catatan (Note) : Nilai pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% bedasarkan uji jarak berganda Duncan (values in collums followed by the same letter are not significantly different at level of % on DMRT)
Gambar (Figure) 1. Hubungan antara periode dan ruang simpan terhadap kecepatan berkecambah benih kayu bawang (Corelation between storage period and storage room on germination rate of kayu bawang seed)
Gambar (Figure) 2. Hubungan antara periode dan ruang simpan terhadap keserempakan tumbuh benih kayu bawang (Corelation between storage period and storage room on growth uniformity of kayu bawang seed)
- IV. KESIMPULAN
- Penurunan viabilitas kayu bawang terjadi relatif cepat yang ditunjukkan oleh penurunan daya berkecambah sebesar 55,5 % setelah disimpan selama 4 minggu meskipun kecepatan berkecambah meningkat sebesar 9,1 hari. Penyimpanan pada lemari es dapat meningkatkan daya berkecambah kayu bawang sebesar 5,8 % dibanding penyimpanan di ruang suhu kamar.
- Pada periode simpan 1 sampai dengan 2 minggu, suhu penyimpanan yang rendah akan menghambat proses pemasakan benih (after ripening) kayu bawang, tetapi setelah 3 sampai dengan 4 minggu pemasakan benih terjadi dengan baik sebagaimana halnya dengan penyimpanan pada ruang suhu kamar.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhasybi, Adang Muharam dan Ismed. 2003. Daya Simpan Benih Jabon (Anthocephalus cadamba) Pada Berbagai Ruang dan Wadah Simpan. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 10 No. 2. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis 2000. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Siahaan, H., Nanang Herdiana dan Teten Rahman S. 2006. Teknologi Penanganan Benih. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang.
Zanzibar, M. 2003. Kemunduran Viabillitas Beberapa Benih Pohon Hutan Akibat Pengaruh Perlakuan Pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 10 No. 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.
Detail |
|
56 |
VARIASI PERTUMBUHAN EMPAT PROVENANS ULIN (Eusideroxylon zwageri T. Et B.) KALIMANTAN |
Lukman Hakim |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusprohut |
2008 |
VARIASI PERTUMBUHAN EMPAT PROVENANS
ULIN (Eusideroxylon zwageri T. Et B.) KALIMANTAN
Growth Variation of Four Provenaces of
Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) Kalimantan
Lukman Hakim
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Tentara Pelajar Km. 15, Sleman, Yogyakarta.
ABSTRACT
The exploitation of ulin has increased and uncontrolled as the results of the increase of human’s demand. The conservation and cultivation effort of its have not been conducted yet, however. Research of ulin conservation, comprising exploration, handling of the genetic material in the nursery, and plantation of ex-situ conservation plot were carried out. Growth variation of four provenances ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) collected in Kalimantan and planted in Bondowoso was observed in the field and the statistical analysis of the data was done following Comprising Randomized Completely Block Design. The objective of this research was to compare the growth and survival of Ulin from 4 provenances of Kalimantan. Results showed that four provenance have significant growth variation on measuring of 6, 12, and 18 mounts old. Growth of height, provenance Seruyan Hulu Central Kalimantan 94,31 cm, Nanga Tayap West Kalimantan 74,82 cm, Sumber Barito Central Kalimantan 73,75 cm, and Sepaku East Kalimantan 66,78 cm. Growth of diameter, provenance Seruyan Hulu Central Kalimantan 1,12 cm, Nanga Tayap West Kalimantan 0,96 cm, Sumber Barito Central Kalimantan 0,93 cm, dan Sepaku East Kalimantan 0,87 cm.
Key words: Ex-Situ Conservation, Provenance, Ulin
ABSTRAK
Eksploitasi kayu Ulin semakin tidak terkendali seiring dengan meningkatnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun tidak diiringi dengan upaya konservasi dan budidaya. Penelitian ini merupakan upaya konservasi Ulin dengan kegiatan eksplorasi, penanganan materi genetik berupa biji di persemaian, dan penanaman plot konservasi ex-situ. Kegiatan penelitian evaluasi awal variasi pertumbuhan empat provenans Ulin asal Kalimantan di Bondowoso melingkupi pengamatan dan pengukuran tanaman Ulin di tingkat lapangan. Analisis data dengan metode statistik parametrik Randomized Completely Block Design. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman dari 4 provenans Kalimantan. Hasil penelitian menunjukan keempat provenans memiliki variasi pertumbuhan yang berbeda sangat nyata pada pengukuran umur 6 bulan, 12 bulan, maupun 18 bulan untuk rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Ulin. Pertumbuhan tinggi pada umur 18 bulan setelah penanaman Ulin di lapangan menunjukan Provenans Seruyan Hulu Kalteng 94,31 cm, Nanga Tayap Kalbar 74,82 cm, Sumber Barito Kalteng 73,75 cm, dan Sepaku Kaltim 66,78 cm. Diameter batang, provenans Seruyan Hulu Kalteng 1,12 cm, Nanga Tayap Kalbar 0,96 cm, Sumber Barito Kalteng 0,93 cm, dan Sepaku Kaltim 0,87 cm.
Kata Kunci : Konservasi ex-situ, Provenans, Ulin.
- I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konferensi Bumi yang di laksanakan di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992, menghasilkan beberapa konvensi yang ada kaitannya dengan hutan dan sumberdaya genetik sebagai salah satu dari unsur lingkungan, yaitu tentang Prinsip Pengelolaan Hutan (Forest Management Principle), Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity), dan kerangka konvensi mengenai perubahan iklim (Convention on Climate Change) (Sastraparadja, 2004). Berkaitan dengan konvensi-konvensi tersebut, pembangunan sektor kehutanan Indonesia harus mengakomodasi berbagai isu global, tentang penurunan produktivitas dan biodiversitas hutan alam tropis.
Angka deforestasi sampai sekarang masih simpang siur. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2003, setiap tahun angka degradasi hutan Indonesia seluas 1,7 juta ha. Dengan keadaan seperti ini, maka Indonesia terancam kehilangan sumberdaya genetik pohon hutan yang sangat bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Kegiatan eksploitasi hutan alam yang bersifat ekstraktif guna memenuhi kebutuhan manusia menyebabkan kemerosotan secara kualitas maupun kuantitas hutan pada level genetik, jenis, maupun ekosistem, tidak terkecuali Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Ulin sebagai salah satu penyusun hutan hujan tropika basah di Kalimantan dan Sumatera Bagian Selatan, merupakan jenis favorit untuk perdagangan lokal maupun ekspor. Ulin oleh IUCN (2003) telah dimasukkan dalam kategori Vulnerable dan telah dievalusi untuk dimasukkan dalam Appendix II CITES, yaitu jenis yang akan terancam punah jika perdagangan jenis ini tidak diatur dengan ketat.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, sejak tahun 2003 mengadakan kegiatan konservasi ex-situ Ulin dengan mengumpulkan materi genetik berupa biji dan sampel daun dari 4 sebaran alam (provenans) di Kalimantan, yaitu Sepaku Kaltim, Nanga Tayap Kalbar, Seruyan Hulu Kalteng, dan Sumber Barito Kalteng. Materi genetik biji digunakan sebagai bahan pembangunan plot konservasi ex-situ Ulin yang ditanam tahun 2004 dengan dirancang sebagai uji provenans di Hutan Penelitian Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Penelitian ini merupakan salah satu upaya penyelamatan sumberdaya genetik Ulin dari kepunahan dan sekaligus meneliti teknik budidaya Ulin di tingkat persemaian dan penanaman di lapangan.
- B. Tujuan Penelitian
Membandingkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman dari 4 provenans Kalimantan di tingkat lapangan.
C. Hipotesis yang Diajukan
Terdapat variasi pertumbuhan diameter batang, tinggi tanaman, dan daya hidup tanaman dari 4 provenans Kalimantan di tingkat lapangan
- II. BAHAN DAN METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Hutan Penelitian Sumberwringin, Bondowoso, Jawa Timur pada bulan Juli 2005 (umur tanaman 6 bulan), Desember 2005 (umur tanaman 12 bulan), dan bulan Juli 2006 (umur tanaman 18 bulan). Hutan Penelitian Sumberwringin Bondowoso memiliki tipe iklim B, curah hujan 2400 mm/tahun, jenis tanah asosiasi andosol coklat, dengan ketinggian tempat 800 meter dpl, dengan kelerangan berkisar 0% - 15%. Hutan Penelitian Sumberwringin yang dibangun pada tahun 1937 telah terdapat tanaman koleksi sebanyak 59 jenis yang berasal dari 52 lokasi dalam maupun luar negeri yang mewakili jenis-jenis tanaman tinggi beriklim basah. Jenis-jenis tersebut merupakan introduksi dalam rangka untuk perlakuan uji kesesuaian jenis dan kegunaan sebagai tanaman koleksi dan konservasi (Anonim, 2004).
B. Bahan dan Peralatan
Bahan materi genetik biji Ulin dari 4 provenans Kalimantan yang di kumpulkan pada bulan November-Desember 2003. Bahan dan alat penanaman di lapangan meliputi cangkul, arit, ajir, pupuk kandang, pengangkut bibit dan lain-lain. Sedangkan untuk kegiatan pengukuran membutuhkan meteran, kaliper, pulpen, dan tallysheet.
C. Prosedur Penelitian
Tanaman Ulin merupakan jenis tanaman semi toleran, pada tingkat semai memerlukan naungan dan pada umur pohon muda memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Oleh karena itu, maka penanaman bibit ulin di lapangan dengan naungan. Kegiatan ini meliputi survey dan pengukuran lokasi, pengolahan lahan, ploting desain, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan penanaman. Penelitian yang dilakukan dirancang sebagai uji provenans dengan rancangan percobaan RCBD (Randomized Completely Block Design) dengan jarak tanam 5m x 5m dari 4 provenans (masing-masing 25 tree-plot/blok ), 4 blok, sehingga areal yang digunakan seluas 1 ha.
Kegiatan pengukuran dilakukan selama 2 periode yaitu pada bulan Juli dan Desember tiap tahun. Pengukuran yang dilakukan pada penelitian ini selama 3 periode yaitu umur 6 bulan, 12 bulan, dan 18 bulan. Data yang diukur meliputi persen hidup, tinggi tanaman, dan diameter batang.
D. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Penelitian uji provenans Ulin dengan rancangan RCBD (Randomized Completely Block Design) menggunakan 4 provenans, 4 replikasi (blok), 25 bibit, sehingga jumlah sampel sebanyak 400 bibit dengan jarak tanam 5m x 5m menggunakan sistem jalur. Parameter yang diukur adalah persen hidup, tinggi dan diameter tanaman. Data hasil pengukuran selanjutnya dianalisis dengan varian yang selanjutnya dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Secara umum data dari hasil pengukuran di analisis keragamannya dengan menggunakan rancangan RCBD mengikuti model persamaan sebagai berikut:
Yij = u + Bi + Fj + ε ij
Keterangan :
Yij = Rata-rata plot provenans ke-j di dalam ulangan ke-i
u = Rata-rata populasi
Bi = Pengaruh ulangan ke-i
Fj = Pengaruh provenans ke-j
ε ij = Error atau pengaruh sisa ke-ij
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Introduksi suatu jenis atau provenans dapat dengan melakukan uji jenis atau uji provenans pada suatu tapak. Kesesuaian antara jenis atau provenans dengan tapak penanaman dapat dengan membandingkan iklim, tanah, dan vegetasi yang ada di tapak tersebut. Pembangunan plot konservasi yang dirancang sebagai uji provenans sangat penting selain sebagai upaya penyelamatan materi genetik jenis Ulin yang terancam punah di sebaran alam yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera Bagian Selatan, juga dapat menyediakan materi genetik dengan variasi genetik yang lebih besar untuk kepentingan program pemuliaan pada masa yang akan datang. Variasi genetik yang besar dapat diperolah dengan adanya perkawinan silang dari pohon-pohon yang berasal dari banyak populasi yang berpengaruh dalam struktur genetik dalam populasi baru tersebut. Berdasarkan pengolahan data pertumbuhan tanaman yang dilakukan pada umur 6, 12, dan 18 bulan disajikan pada Tabel 2.
Tabel (Table) 1. Rerata pertumbuhan dan hasil ANOVA dan DMRT pengukuran setelah umur 6, 12, dan 18 bulan (Mean of growth and the result of ANOVA and DMRT on measurement after 6, 12, and 18 months old)
No
|
Parameter
(Parameter)
|
Provenans
(Provenance)
|
Rerata
(Mean)
|
Signifikansi (Significant)
|
F hit
(F calc)
|
F tab (F tab)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5%
|
1%
|
A.
|
Umur 6 bulan (6 months old)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Tinggi (height) (cm)
|
57,70a
|
57,73a
|
52,69a
|
76,22b
|
61,10
|
25,710**
|
2,635
|
3,849
|
2.
|
Diameter (diameter) (cm)
|
0,73a
|
0,71a
|
0,68a
|
0,88b
|
0,75
|
17,810**
|
2,635
|
3,849
|
B.
|
Umur 12 bulan (12 months old)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Tinggi (height) (cm)
|
62,05a
|
62,86a
|
58,26a
|
81,22b
|
66,10
|
21,725**
|
2,637
|
3,852
|
2.
|
Diameter (diameter) (cm)
|
0,85a
|
0,84a
|
0,81a
|
1,00b
|
0,88
|
14,563**
|
2,637
|
3,852
|
C.
|
Umur 18 bulan (18 months old)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Tinggi (height) (cm)
|
74,82a
|
73,75a
|
66,78a
|
94,31b
|
77,42
|
20,312**
|
2,642
|
3,864
|
2.
|
Diameter (diameter) (cm)
|
0,96b
|
0,93ab
|
0,87a
|
1,12c
|
0,97
|
17,634**
|
2,642
|
3,864
|
Keterangan :
** berbeda nyata pada taraf uji 1%
Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %
Provenans 1 = Nanga Tayap Kalbar
Provenans 2 = Sumber Barito Kalteng
Provenans 3 = Sepaku Kaltim
Provenans 4 = Seruyan Hulu Kalteng
Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik dengan analisis varian menunjukan ketiga parameter tinggi tanaman dan diameter batang berbeda sangat nyata pada keempat provenans. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut dengan DMRT. Uji lanjut untuk mengetahui provenans mana saja yang berbeda dan yang tidak berbeda. Hasil ANOVA dan uji lanjut disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan nilai F hitung untuk taraf uji 5% maupun 1% lebih besar dari F tabel pada data tabel, maka hipotesis Ho ditolak untuk semua parameter pada umur 6 bulan, 12 bulan, dan 18 bulan untuk rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Ulin. Hal ini berarti, tiap provenans memiliki keragaman atau berbeda sangat nyata. Berdasarkan ketiga keputusan yang menghasilkan perbedaan sangat nyata pada semua parameter, maka perlu dilakukan uji lanjut dengan DMRT untuk dapat diketahui provenans-provenans mana saja yang berbeda maupun yang tidak berbeda. Berdasarkan uji lanjut dapat dilihat bahwa provenans Seruyan Hulu Kalteng paling menonjol atau berbeda sangat nyata untuk semua parameter yang diukur pada ketiga periode pengukuran (umur 6, 12, maupun 18 bulan).
Pertumbuhan tanaman merupakan hasil beberapa ciri adaptif, seperti daya toleransi yang tinggi pada lingkungan tertentu. Menurut Soerianegara and Lemmens (1993), tanaman Ulin pada tingkat semai dan sapling membutuhkan banyak naungan, namun pada tingkat tiang dan pohon muda membutuhkan cukup cahaya untuk pertumbuhan. Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa besarnya riap tinggi rata-rata dari umur 6 sampai 18 bulan bibit Ulin di lapangan bervariasi dari 14,09 cm pada provenans Sepaku Kaltim sampai 22,13 cm pada provenans Nanga Tayap Kalbar, dan untuk riap tinggi rata-rata 4 provenans sebesar 17,58 cm, sedangkan besarnya riap diameter rata-rata dari umur 6 sampai 18 bulan bibit Uin di lapangan bervariasi dari 0,19 cm pada provenans Sepaku Kaltim sampai dengan 0,23 cm pada provenans Nanga Tayap Kalbar, sedangkan untuk riap diameter rata-rata 4 provenans sebesar 0,22 cm.
Tabel (Table) 2. Rata-rata daya hidup pada umur 6, 12, dan 18 bulan (Mean of survival on measurement after 6, 12, and 18 months old)
No
|
Parameter
(Parameter)
|
Provenans
(Provenance)
|
Rerata
(Mean)
|
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
1.
|
Umur 6 bulan (6 months old)
|
77 %
|
63 %
|
64 %
|
96 %
|
75 %
|
|
2.
|
Umur 12 bulan (12 months old)
|
75 %
|
58 %
|
62 %
|
93 %
|
72 %
|
|
3.
|
Umur 18 bulan (18 months old)
|
65 %
|
44 %
|
54 %
|
84 %
|
61,75 %
|
|
Keterangan :
Provenans 1 = Nanga Tayap Kalbar
Provenans 2 = Sumber Barito Kalteng
Provenans 3 = Sepaku Kaltim
Provenans 4 = Seruyan Hulu Kalteng
Daya hidup merupakan indikasi kemampuan tumbuh dan adaptasi tanaman terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuh dan merupakan salah satu kriteria seleksi, terutama pada waktu introduksi jenis dan provenans pada lahan yang memiliki perbedaan lingkungan dengan tempat asalnya. Daya hidup karena ancaman kekeringan jenis ulin setelah umur 21 bulan di lapangan dapat mencapai 95% (Nieuwstadt, et al., 2002). Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat dilihat terjadi penurunan daya hidup tanaman Ulin pada semua provenans selama 3 periode pengukuran. Persen hidup rata-rata sampai umur 18 bulan bibit Ulin di lapangan bervariasi dari 44% pada provenans Sumber Barito Kalteng sampai 84% pada provenans Seruyan Hulu Kalteng, sedangkan untuk persen hidup rata-rata 4 provenans sebesar 61.75%. Dengan kata lain angka kematian rata-rata keempat provenans tersebut sangat tinggi yaitu sebesar 38,25%. Menurut Daniel et al. (1979), faktor-faktor penyebab kematian semai setelah melalui tahap sokulen adalah hipokotil semai yang telah mengeras karena beberapa faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, iklim mikro, lantai hutan, tanaman pesaing, tanah, dan faktor biotis. Daya hidup yang terus menurun dalam penelitian ini diduga karena beberapa hal antara lain keempat provenans Kalimantan memiliki perbedaan lingkungan (tanah, ketinggian tempat, dan iklim) yang berbeda dengan lokasi penanaman di Bondowoso, pada saat kegiatan penanaman, kondisi bibit mengalami penurunan kualitas karena pengangkutan bibit dari persemaian Yogyakarta ke Bondowoso, maupun dari tempat penampungan ke lokasi penanaman karena ukuran polybag yang besar, intensitas cahaya matahari yang tinggi, tertimpa ranting/cabang dari pohon-pohon besar, serangan hama dan penyakit, persaingan dengan gulma, dan dimakan daunnya oleh hewan yang diternakan di hutan (kambing).
Proses memilih tanaman yang dikehendaki dari populasi tanaman yang tumbuh liar untuk dibudidayakan secara menetap dan berlanjut disebut domestikasi, sedangkan proses mendatangkan suatu kultivar tanaman ke suatu wilayah yang baru disebut dengan introduksi. Tanaman introduksi yang dapat tumbuh baik di daerah tersebut mempunyai arti penting bagi pemuliaan tanaman, sebab daerah baru tersebut mempunyai kondisi tanah dan iklim yang sama dengan daerah asalnya atau tanaman tersebut mempunyai daya adaptasi yang baik dengan lingkungan yang baru (Mangoendidjojo, 2003). Kegiatan konservasi genetik merupakan aktivitas yang terpadu dengan program pemuliaan pohon untuk menjamin tersediannya materi genetik dengan variasi genetik yang cukup luas agar dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Setiap tanaman mengekspresikan fenotipik yang berbeda-beda, yang tumbuh dengan baik menunjukan kemampuanya beradaptasi dengan baik di tempat tumbuh tersebut, sedangkan yang tidak mampu akan tumbuh jelek dan bahkan mati (Zobel et al., 1984). Menurut Soekotjo (2004), keunggulan suatu tanaman sangat ditentukan oleh asal provenans (sumber benih), maka asal sumber benih perlu diperhatikan dalam kegiatan pembangunan suatu tanaman. Berdasarkan hasil analisis pertumbuhan empat provenans pada umur 6, 12, dan 18 bulan setelah ditanam di lapangan menunjukan variasi pertumbuhan yang sangat nyata dan provenans Seruyan Hulu Kalteng memiliki pertumbuhan tanaman yang paling tinggi di bandingkan 3 provenans Kalimantan yang lainnya. Oleh karena itu, apabila kegiatan pengumpulan materi genetik ulin untuk kepentingan pemuliaan seperti uji genetik, maka provenans Seruyan Hulu Kalteng direkomendasikan untuk dijadikan target lokasi pengambilan.
IV. KESIMPULAN
- Hasil penelitian di lapangan bahwa keempat provenans memiliki variasi pertumbuhan yang berbeda sangat nyata pada pengukuran umur 6 bulan, 12 bulan, maupun 18 bulan untuk rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Ulin.
- Pertumbuhan tinggi pada umur 18 bulan setelah penanaman Ulin di lapangan menunjukan Provenans Seruyan Hulu Kalteng 94,31 cm, Nanga Tayap Kalbar 74,82 cm, Sumber Barito Kalteng 73,75 cm, dan Sepaku Kaltim 66,78 cm. Sedangkan pertumbuhan diameter batang adalah provenans Seruyan Hulu Kalteng 1,12 cm, Nanga Tayap Kalbar 0,96 cm, Sumber Barito Kalteng 0,93 cm, dan Sepaku Kaltim 0,87 cm.
- Provenans Seruyan Hulu Kalteng pada penelitian ini menunjukan pertumbuhan yang menonjol atau terbaik pada umur 18 bulan di lapangan. Oleh karena itu, dalam kegiatan konservasi untuk menunjang program pemuliaan, provenans Seruyan Hulu Kalteng memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Departemen Kehutanan, Eksekutif Data Strategis Kehutanan, Jakarta.
---------, 2004. Sekilas Tentang Hutan Penelitian Sumberwringin Bondowoso. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Badan Litbang, Departemen Kehutanan, Yogyakarta.
Daniel, T.W., J.A. Helms, F.S. Baker, 1979. Principle of Silviculture. Djoko Marsono (terjemahan) 1987. Oemi Hani’in Soeseno (editor). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
IUCN. 2003. IUCN Red List of Threatened Species. <http://www.redlist.org>. (tanggal akses 13 Mei 2004).
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Pratista, A. (tanpa tahun). Aplikasi SPSS10.05 dalam Statistik dan Rancangan Percobaan, Alfabeta, Bandung.
Sastraparadja, S.D., 2004. Menjamin Masa Depan dengan Plasma Nutfah Hutan. Workshop Nasional. Konservasi, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. P3BPTH, Yogyakarta.
Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens (Eds.) 1993. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5(1) Timber trees: major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen.
Soekotjo, 2004. Regime Silvikultur: Upaya untuk Merehab dan Meningkatkan Potensi Hutan Indonesia. Pidato Ilmiah Purna Tugas, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan).
van Nieuwstadt M.G.L and D. Sheil. 2002. Trial by fire-Postfire development of a tropical dipterocarp forest. PrintPartners Ipskam B.V, Enschede.
Zobel, B. and J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. Inc.
Detail |
|
57 |
Colletotrichum sp. PENYEBAB PENYAKIT BERCAK DAUN PADA BEBERAPA BIBIT TANAMAN HUTAN DI PERSEMAIAN |
Illa Anggraeni |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
pusprohut |
2008 |
Colletotrichum sp. PENYEBAB PENYAKIT BERCAK DAUN PADA BEBERAPA BIBIT TANAMAN HUTAN DI PERSEMAIAN
Colletotrichum sp. that Cause Leave Spot Disease on Some Forest Plantation Seedling in Nursery
Illa Anggraeni
Pusat Litbang Hutan Tanaman
Kampus Badan Litbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No.5, Bogor
Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005
I. PENDAHULUAN
Departemen Kehutanan telah menetapkan kebijakan nasional yaitu “Revitalisasi Sektor Kehutanan”. Salah satu sasaran dari program revitalisasi kehutanan adalah pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat untuk penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan. Untuk menunjang pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat tersebut di atas tentunya diperlukan pembangunan persemaian, karena persemaian merupakan titik awal keberhasilan penanaman. Dalam pengadaan bibit melalui persemaian ini terdapat berbagai kendala, salah satunya adalah serangan penyakit bercak daun. Selama ini penyakit daun kurang mendapat perhatian karena dianggap tidak menimbulkan kerugian yang berarti, kecuali pada bibit di persemaian. Kerusakan pada daun menyebabkan proses fotosintesa terganggu. Pada tingkat persemaian hal ini dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar karena dapat menyebabkan daun menjadi kering, rontok yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan bahkan yang lebih fatal akhirnya bibit mati, sehingga mengakibatkan gagalnya penanaman.
Penyakit daun yang umum menyerang bibit tanaman hutan seperti akasia, ekaliptus, pulai, jati, mahoni, kemenyan, jabon, tembesu, jelutung, nyatoh, nyamplung, pinus, sengon dll. di persemaian adalah penyakit bercak daun. Penyakit bercak daun disebabkan oleh beberapa fungi patogen antara lain Pestalotia sp., Lasiodiplodia sp., Cercospora sp., Curvularia sp., Helminthosporium sp., Gloesporium sp., Cylindrocladium sp. dan Colletotrichum sp. Dalam tulisan ini akan dibahas penyakit daun yang disebabkan oleh fungi Colletotrichum sp. pada beberapa tanaman hutan.
II. Colletotrichum sp. PENYEBAB PENYAKIT BERCAK DAUN
A. Gejala Penyakit
Gejala dan tanda penyakit bercak daun pada umumnya sama pada setiap tanaman yang terserang yaitu terbentuknya daerah yang mati pada daun (nekrosis). Luas daerah nekrosis bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar dengan bentuk dari yang tidak beraturan sampai yang beraturan. Begitu pula dengan warna bercak atau daerah nekrosis tadi beragam mulai dari kuning, coklat hingga hitam. Gejala penyakit bercak daun Colletotrichum diawali dengan munculnya bercak-bercak berbentuk agak bulat dengan warna coklat dengan tepi agak kekuning-kuningan, bercak-bercak ini dapat menyatu menjadi bercak yang lebar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Bercak yang sudah melebar berwarna coklat merah kehitam-hitaman dan terlihat seperti busuk kebasahan (Gambar 1). Kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit bercak Colletotrichum ini tergantung dari jenis tanamannya, jika tanaman rentan maka bibit tidak hanya mengalami kerontokan daun tetapi mengalami mati pucuk atau mati total.
Gambar 1. Berbagai bentuk bercak daun disebabkan Colletotrichum sp. pada tanaman hutan (nyatoh, araucaria, tanjung dan jabon).
B. Penyebab Penyakit
Fungi Colletotrichum sp. masuk dalam Kelas Deuteromycetes (Imperfect fungi), Ordo Melanconiales dan Famili Melanconiaceae (Alexopoulos and Mims, 1979; Dwidjoseputro, 1978; Streets, 1980 dan Agrios 2005). Colletotrichum mempunyai beberapa sinonim tergantung dari spesiesnya, tingkat seksual dari fungi ini juga sudah diketahui yaitu Glomerella yang masuk ke dalam Kelas Ascomycetes, Ordo Diaporthales, dan Famili Diaporthaceae (Dwidjoseputro, 1976). Fungi membentuk banyak aservulus berbentuk bulat setengah bulat atau lonjong yang berwarna gelap, bersetae pendek atau panjang (Gambar 2). Patogen mempunyai miselium bersekat, di ujung konidiofor yang tidak bersekat dan bercabang (Gambar 3) dibentuk konidia silindris (melengkung atau tidak melengkung), bersel tunggal, tidak bersekat (Gambar 4). Konidia biasanya membentuk satu atau dua tabung kecambah (Gambar 5), bila tabung kecambah mengenai permukaan benda padat maka terbentuklah apresorium berwarna gelap dan lengkat (Gambar 6), kemudian fungi menembus kutikula (Gambar 7). Colletotrichum tumbuh baik pada media agar kentang (PDA), dimana pada awal pertumbuhannya membentuk koloni miselium berwarna putih dan berseka, kemudian miselium berubah warna menjadi abu-abu sampai hitam.
Gambar 2. Bentuk setae dari Colletotrichum sp.
Gambar 3. Berbagai bentuk konidiofor Colletotrichum sp.
Gambar 4. Berbagai bentuk konidia Colletotrichum sp.
Gambar 5. Perkecambahan konidia Colletotrichum sp.
Gambar 6. Pembentukan apresorium
Gambar 7. Apresorium yang melekat pada jaringan daun
C. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi
Perkembangan penyakit tergantung pada lingkungan, kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit antraknosa adalah pada kelembaban relatif (Rh) 95% - 100%. Suhu optimum untuk perkembangan Colletotrichum adalah 28º – 36º C, hal ini menyebabkan serangan penyakit di musim penghujan lebih tinggi daripada di musim kemarau. Fungi masuk ke dalam tanaman inang melalui lubang alami (stomata), melalui luka dan penetrasi langsung pada kutikula. Selama menginfeksi jaringan hidup fungi ini menyebabkan desinterasi protoplasma, setelah terjadi proses infeksi terbentuklah gejala penyakit berupa bercak coklat dan membentuk aservulus, konidia yang terbentuk dalam aservulus inilah yang dapat menyebar di lapangan. Colletotrichum sp. merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman inang, dengan cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati, membentuk struktur istirahat dan pada fase parasitik menginfeksi gulma atau tanaman inang. Selama hidup secara saprofitik, mengkolonisasi substrat organik, atau hidup secara parasitik pada akar tanaman dengan tidak memperlihatkan gejala sakit (Garrett, 1970).
Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. pada beberapa tanaman sering disebut penyakit antraknosa. Agrios (2005) mengatakan bahwa antraknosa berarti Anthrax = carbon = black artinya penyakit antraknosa disebabkan oleh jenis fungi yang menghasilkan konidia dalam aservulus berwarna hitam. Penyakit antraknosa menyerang berbagai bagian dari tanaman seperti buah, batang dan daun, menyerang tanaman pada berbagai umur mulai dari pembibitan yang terbawa benih sampai tanaman di lapangan.
D. Tanaman Inang dan Pengelolaan Penyakit
Penyakit antraknosa dilaporkan menyerang berbagai tanaman pertanian seperti cabe, alpukat, jeruk, kacang kedelai, strawberi, pepaya, mangga dll. (Agrios, 2005); menyerang tanaman perkebunan seperti kopi dan karet (Agrios, 2005; Semangun, 2000); tanaman kehutanan seperti Acacia spp. (Old et al., 2000), jabon, pulai, tembesu, jati, cendana, matoa dan tanjung (Anggraeni, 2008).
Pengelolaan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
- Media yang akan digunakan untuk persemaian disterilisasi lebih dahulu dengan cara pemanasan/penggorengan, penggunaan desinfektan (misalnya formaldehida) atau menyemprotkan fungisida berbahan aktif triadimefon, klorotalonil, dan mankozeb pada bak semai
- Memperbaiki drainase dan sirkulasi udara dan menjaga kelembaban
- Penyiangan gulma atau tanaman pengganggu
- Menggunakan benih yang berkualitas baik dan sehat
- Pemupukan yang seimbang
- Monitoring dan melakukan eradikasi secara intensif
- Melindungi semai dari serangan Colletotrichum dengan penyemprotan fungisida berbahan aktif triadimefon, klorotalonil, mono amonium glifosat, isopropil amina glifosat dan mankozeb.
III. PENUTUP
Pada umumnya penyakit daun yang disebabkan oleh fungi patogen memang tidak menimbulkan kerugian yang besar bila ditinjau dari segi ekonomi, namun penyakit bercak daun antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. ini perlu diwaspadai dan dimonitor terus menerus. Secara fisiologi, adanya penyakit bercak daun antraknosa sangat merugikan, karena daun merupakan organ tanaman yang berfungsi untuk fotosintesa, apabila daun terserang penyakit maka fungsi daunpun menjadi terganggu yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman karena tidak adanya suplai nutrisi hasil fotosintesa.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Alexopoulos, C.J. dan C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Anggraeni, I. 2008. Laporan Perjalanan Dinas. Puslitbang Hutan Tanaman, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Garrett, S.D. 1970. Pathogenic Root-infecting Fungi. Cambridge at University Press. Cambridge.
Old, K.M., L.S. See, J.K. Sharma, dan Z.Q. Yuan. 2000. A Manual of Diseases of Tropical Acacias in Australia, South-East Asia and India. Center for International Forestry Research (CIFOR). Jakarta.
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The University of Arizona Press. Tuscon – Arizona. USA.
Detail |
|
58 |
MODEL HUBUNGAN TINGGI TEGAKAN DENGAN PENINGGI PADA HUTAN TANAMAN JATI (Tectona grandis L.f) |
Harbagung |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusprohut |
2009 |
Diameter, tinggi, peninggi, dan volume tegakan merupakan informasi penting yang perlu dihasilkan dari kegiatan inventarisasi hutan tanaman. Dalam pengumpulan data semua informasi tersebut, pengukuran tinggi pohon merupakan pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan banyak waktu. Penelitian ini bertujuan menyusun model hubungan antara tinggi dengan peninggi tegakan hutan tanaman Jati (Tectona grandis L.f) agar pekerjaan inventarisasi dapat lebih sederhana. Hasil analisis keseragaman regresi terhadap 12 plot pada umur 7, 18, 25, dan 35 tahun di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sumedang, 12 plot pada umur 12, 19, 108, dan 117 tahun di KPH Kendal, 18 plot pada umur 7, 17, 60, 66, dan 79 tahun di KPH Blora, dan 24 plot pada umur 17, 20, 30, 33, 44, 47, 65, dan 68 tahun di KPH Saradan menunjukkan bahwa persamaan hubungan tinggi tegakan (Hs) dengan peninggi tegakan (Oh) hutan tanaman Jati tidak berbeda nyata antar lokasi, sehingga dapat disusun sebuah persamaan yang berlaku di semua lokasi, yaitu Hs = -2,2852 + 1,0572 Oh, dengan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 0,998. Uji c2 dengan menggunakan data independent menunjukkan bahwa persamaan tersebut cukup sahih untuk penerapannya di lapangan.
Detail |
|
59 |
PENYAKIT BERCAK DAUN PADA SEMAI NYATOH (Palaquium sp.) DI PERSEMAIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN CIAMIS |
Illa Anggraeni dan/and Benyamin Dendang |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusprohut |
2009 |
Bibit nyatoh (Palaquium sp.) di persemaian Desa Pamalayan, Ciamis terserang penyakit bercak daun. Ciri dan gejala penyakit bercak daun pada umumnya sama pada setiap tanaman yaitu terbentuknya daerah yang mati pada daun (nekrosis). Bercak berwarna coklat dengan tepi agak kekuning-kuningan dan kemudian berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Letak bercak pada permukaan daun dimulai dari tepi menuju ke bagian tengah daun. Apabila daun yang terserang disentuh, maka daun tersebut gugur, apabila dibiarkan lama kelamaan daun menjadi kering dan rontok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis patogen penyebab penyakit, informasi yang diperoleh merupakan proses awal untuk mengambil tindakan pengendalian penyakit. Dari hasil uji "Postulat Koch" dan identifikasi, ternyata penyebab penyakit bercak daun bibit nyatoh adalah fungi Colletotrichum sp. Persentase rata-rata kejadian penyakit bercak daun pada bibit nyatoh pada plot pengarnatan I sebesar 96%, plot I I sebesar 96% dan plot III mencapai 100%. Sedangkan rata-rata intensitas serangan penyakit pada plot pengamatan I sebesar 24,60%, plot II sebesar 28,87% dan plot III sebesar 31,45%.
Detail |
|
60 |
PENENTUAN UKURAN OPTIMAL PETAK UKUR PERMANEN UNTUK HUTAN TANAMAN AGATHIS (Agathis loranthifolia Salisb.) |
Harbagung |
- Nama :
- Bidang Keahlian :
- Unit Kerja :
- Email :
|
Pusprohut |
2009 |
Petak Ukur Permanen (PUP) merupakan sarana pengumpulan data riap/pertumbuhan tegakan yang akurat, namun kegiatan pengumpulan data tersebut membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang besar. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan kajian ukuran PUP terkecil yang representatif dapat mewakili kondisi tegakan. Lima petak contoh berukuran 120 m x 120 m pada hutan tanaman Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) di Baturaden, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah, dijadikan bahan kajian ini. Hasil kajian menunjukkan bahwa ukuran optimal PUP untuk pemantauan dinamika jumlah pohon dari waktu ke waktu adalah petak/plot ukuran 100 m x 100 m. Pengukuran riap diameter dan tinggi tegakan dilakukan pada petak 40 m x 40 m yang diletakkan di tengah petak 100 m x 100 m.
Detail |
|